Keistimewaan Ibadah Qurban dan Sejarahnya

 
Keistimewaan Ibadah Qurban dan Sejarahnya
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu ibadah yang istimewa di Bulan Dzulhijjah adalah melakukan qurban. Ibadah ini khusus dilakukan pada Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah dan Hari Tasyriq tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah. Ibadah ini dilakukan dengan menyembelih hewan ternak yang mencakup kambing, unta, sapi dan kerbau.

Dalam Kitab Mughnil Muhtaj, Syaikh Khatib As-Syarbini menjelaskan sebagaimana berikut;

هِيَ مَا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّباً إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ يَوْمِ الْعِيْدِ إِلَى آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ


“Pengertian qurban adalah hewan ternak yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah di Hari Raya Idul Adha hingga akhir Hari Tasyriq.” (Syaikh Khatib asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, juz 6, hlm. 122)

Terkait dengan ibadah qurban ini mayoritas ulama menghukumi sunnah, bukan wajib. Pendapat ini berdasarkan Surat Al-Kautsar ayat 2 berikut ini:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Selain itu juga diperkuat dengan keterangan Hadis berikut ini:

ثَلاَثٌ هِيَ عَلَيَّ فَرَائِضُ وَلَكُمْ تَطَوُّعٌ النَّحْرُ وَالْوِتْرُ وَالضُّحَى

"Ada 3 hal yang wajib bagi saya dan sunah bagi kalian; qurban, witir, dan dua rakaat salat dhuha." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

Dalam hal ini ulama Madzhab Syafi’i secara tegas menyatakan bahwa hukum melakukan qurban adalah sunnah. Di dalam Kitab Mukhtashor Al-Muzani diterangkan alasan pendapat ini. Berikut keterangannya:

قَالَ الشَّافِعِي وَبَلَغَنَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا كَانَا لاَ يُضَحِّيَانِ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُرَى أنَّهَا وَاجِبَةٌ

“Syafii berkata: Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar (pernah) tidak menyembelih Qurban karena khawatir akan dianggap wajib." (Mukhtashar Al-Muzani, juz 8, hlm. 283)

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibadah qurban hukumnya wajib bagi orang kaya, dengan dalil Hadis berikut ini:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرُبَنَّ مُصَلاَّنَا

"Barangsiapa yang memiliki kelebihan rezeki namun tidak menyembelih Qurban, maka janganlah mendakat ke tempat salat kami." (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, ibadah qurban ini sangat besar keutamaannya. Hewan qurban yang kita sembelih akan dikembalikan oleh Allah di Hari Kiamat, sebagaimana Allah mengembalikan hewan qurban Habil kepada Nabi Ibrahim.

Dalam sebuah Hadis dijelaskan tentang keutamaan tersebut, meski terindikasi sebagai Hadis yang dhoif. Berikut ini teks Hadisnya:

مَا عَمِلَ آدَمِىٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا

“Tidak ada amal manusia yang lebih dicintai oleh Allah di Hari Raya Qurban dari pada mengalirkan darah hewan. Sebab hewan itu akan datang di Hari Kiamat dengan tanduknya, rambutnya dan kaki-kakinya.” (HR. At-Tirmidzi)

Tentang keutamaan ini, Syaikh Al-Mubarakfuri menerangkan sebagaimana berikut:

يَعْنِي أَفْضَلُ الْعِبَادَاتِ يَوْمَ الْعِيدِ إِرَاقَةُ دَمِ الْقُرُبَاتِ . وَأَنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا كَانَ فِي الدُّنْيَا مِنْ غَيْرِ نُقْصَانِ شَيْءٍ مِنْهُ لِيَكُونَ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ أَجْرٌ ، وَيَصِيرُ مَرْكَبُهُ عَلَى الصِّرَاطِ اِنْتَهَى .

“Ibadah paling utama di Hari Raya Idul Adha adalah menyembelih hewan qurban. Ia akan datang di Hari Kiamat seperti sedia kala di dunia, tanpa ada yang kurang sedikitpun, agar masing-masing organ tubuhnya menjadi pahala dan menjadi kendaraannya di atas jembatan shirat.” (Tuhfatul Ahwadzi, juz 4, hlm. 145)

Dalam melakukan ibadah qurban ini perlu diketahui dan dipahami dengan baik bahwa qurban dengan menyembelih unta, sapi atau kerbau itu bisa cukup diperuntukkan bagi tujuh orang. Berikut dalil Hadis yang menerangkan tentang hal ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

“Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Di tahun Hudaibiyah kami menyembelih unta untuk 7 orang dan menyembelih sapi untuk 7 orang.” (HR. Muslim)

Sedangkan ibadah qurban dengan menyembelih kambing hanya bisa untuk satu orang saja, berdasarkan Hadis berikut ini;

عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِىَّ كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى.

“Atha’ bin Yasar bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari: "Bagaimanakah qurban kalian di masa Nabi SAW?" Abu Ayyub menjawab: "Seseorang di masa Nabi SAW menyembelih satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan dari daging kambing tersebut, dan mereka juga bersedekah dari daging tersebut. Kemudian ini menjadi kebanggaan bagi mereka sebagaimana kau lihat." (HR. Thabrani dan Ibnu Majah)

Riwayat ini menjadi khilafiyah di kalangan para ulama. Seperti yang disampaikan oleh Imam At-Tirmidzi:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ. وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ تُجْزِئُ الشَّاةُ إِلاَّ عَنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ.

“Seperti inilah (satu kambing untuk satu keluarga) yang diamalkan oleh sebagian ulama, yaitu pendapat Ahmad bin Hanbal dan Ishaq Rahuwaih. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa satu kambing tidak cukup kecuali hanya untuk satu orang saja. Ini adalah pendapat Ibnu Mubarak dan ulama lainnya.” (Sunan At-Tirmidzi, juz 6, hlm. 136)

 Di antaranya juga menurut Madzhab Syafiiyah. Ibn Hajar al-Haitami memberi landasan ijtihadnya

أَنَّ الْقَصْدَ مِنَ التَّضْحِيَةِ فِدَاءُ النَّفْسِ وَالشَّارِعُ في الشَّاةِ لَمْ يَجْعَلِ الْفِدَاءَ إلَّا كَامِلًا.

“Sungguhnya tujuan utama kurban adalah menebus diri, dan syariat tidak menjadikan tebusan seseorang dalam satu ekor kambing kecuali secara sempurna.”(Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra , jilid II, hlm. 52).

Dalam hal ini, pada dasarnya Ulama Syafiiyah mengarahkan riwayat diatas sebagai kongsi dalam pahala

لِنَصِّ الْبُوَيْطِيِّ عَلَى أَنَّ مَنْ نَوَاهَا عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ أَجْزَأَهُ عَلَى الشَّرِكَةِ فِي الثَّوَابِ لَا الْأُضْحِيَّةَ لِاسْتِحَالَةِ وُقُوعِهَا عَنْ كُلِّهِمْ عَنْ كُلِّ جُزْءٍ مِنْ شَاةٍ وَلَا أَحْسَبُ فِيهِ خِلَافًا ا هـ

“Karena ada penjelasan dari Al-Buwaithi (murid Imam Syafii) bahwa orang yang niat satu kambing untuk dirinya dan keluarganya menjadi sah dalam berbagi pahala saja, bukan untuk ibadah qurban itu sendiri. Sebab mustahil satu kambing secara utuh dari masing-masing bagiannya untuk diterima semua keluarga. Dan saya kira tidak terjadi khilaf dalam masalah ini.” (Hasyiah Al-Ubbadi ‘ala Tuhfatul Muhtaj, hlm. 41/45).

***

Jika kita melihat sejarah, kita akan menemukan banyak hal terkait dengan sejarah qurban ini yang direkam di dalam Al-Quran.

Hakikatnya ibadah qurban itu tidak hanya dikhususkan kepada umat Rasulullah SAW, namun juga disyariatkan kepada umat-umat terdahulu. Keterangan ini sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Hajj ayat 34. Allah SWT berfirmah:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada mereka…”

Keterangan ini terkait dengan contoh qurban yang dilakukan oleh dua putra Nabi Adam a.s, yakni Habil dan Qabil. Allah SWT berfirman:

 إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ 

“Ketika putra Adam (Habil dan Qabil) mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).” (QS. Al-Maidah: 27)

Disebutkan oleh para ulama ahli tafsir, bahwa Habil adalah peternak dan ia meng-qurban-kan hasil ternak terbaiknya. Hingga diterima oleh Allah dan diangkat ke surga.

Sementara Qabil adalah petani dan ia meng-qurban-kan hasil panen terburuknya. Dan Allah SWT tidak menerima qurbannya ini.

Pada masa Nabi Ibrahim, Allah memerintahkannya agar menyembelih putranya sendiri, yakni Nabi Ismail. Setelah keduanya akan melaksanakan perintah tersebut, lalu Allah SWT berfirman:

 وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. As-Shaffat: 107)

Ibnu Kastsir menjelaskan bahwa domba yang menjadi ganti Nabi Ismail tersebut adalah domba yang dahulu kala pernah dijadikan qurban oleh Habil, putra Nabi Adam a.s.

وَهُوَ الْكَبْشُ الَّذِي قَرَّبَهُ ابْنُ آدَمَ فَتُقُبِّلَ مِنْهُ

“Itu adalah domba yang diqurbankan Habil, putra Adam.” (Tafsir Ibni Katsir 7/31). []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Juli 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ustadz Ma’ruf Khozin

Editor: Hakim