Jangan Salah Memahami Tradisi, Begini Penjelasan Sesungguhnya

 
Jangan Salah Memahami Tradisi, Begini Penjelasan Sesungguhnya

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai satu-satunya ormas Islam yang getol menyuarakan gagasan Islam Nusantara, harus benar-benar menyiapkan dirinya atas segala konsekuensi yang dihadapinya. Sebab sejauh ini, umat muslim yang mengikuti sistem bermadzhab dan metodologi berpikir ala Islam Nusantara selalu mendapat serangan dan gempuran, bertubi-tubi, terus menerus, tak ada habisnya.

Serangan dari berbagai pihak kerap kali dipoles dengan Narasi-narasi Agama. Jamak kita dapati di beberapa kesempatan, dengan berlagak ustadz dalam pengajiannya berupaya membenturkan pimpinan NU dengan hasil keputusan Muktamar, yaitu soal tradisi yang berkembang di masyarakat yang masih dijadikan budaya, seperti nyadran, sedekah bumi, syukuran hasil panen dan sebagainya. Beberapa karifan tradisi tersebut disandingkan dengan hasil keputusan Muktamar NU era awal-awal berdirinya. Sehingga dari itu, awam banyak yang terprovokasi, dan kemudian ikut-ikutan menyalahkan ijtihad NU.

Bila ditelisik lebih dalam lagi, hakikatnya ustadz yang demikian inilah yang mencederai perjalanan dan perjuangan NU, bahkan Islam yang sejati. Ia gagal paham, bahwa dalam usahanya NU sudah ada keputusan terbaru tentang masalah ini. Substansi sama jika tidak sesuai dalam aturan Islam. Namun jika sudah diselipkan ajaran Islam seperti membaca Qur'an, sedekah, shalawat, doa dan lainnya maka jelas diperbolehkan. Kalau masih ada beberapa hal yang belum sesuai, tinggal kita dakwahkan secara bertahap supaya sesuai dengan ajaran Islam. Bukan malah menebar fitnah menyalhkan sesama umat beraga Islam.

Dari beberapa tradisi dan budaya umat Islam yang sering dibombardir oleh kalangan sesame muslimnya di antaranya adalah: pertama, Sesajen. Sasajen adalah tradisi selamatan ala masyarakat lokal dengan diniatkan untuk selamatan. Nah, oleh sebab namanya adalah Sasajen, dan bentuknya pun ala warisan Tradisi nenek moyang, maka oleh berbagai kalangan dihukumi  kurafat, dan syirik.

Nyadran pada seharusnya tidak dapat serta merta dihukumi syirik, sebab kita tidak pernah pernah mendapatkan dalil tegas akan dilarangnya budaya tersebut. Selebihnya, kita tidak pernah tahu hakikat isi hati seorang. Oleh karena itu para ulama Syafi'iyah memerinci perbuatan yang demikian ini berdasarkan niatnya.

Dulu pada zamannya, bentuk Nyadran ini sudah ada kemiripan dalam bentuk menyembelih hewan. Salah satu ulama ahli tarjih dalam madzhab Syafi'i, Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata:

ﻭﻣﻦ ﺫﺑﺢ ﺗﻘﺮﺑﺎ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﺪﻓﻊ ﺷﺮ اﻟﺠﻦ ﻋﻨﻪ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ، ﺃﻭ ﺑﻘﺼﺪﻫﻢ ﺣﺮﻡ

Artinya:  "Barang siapa menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar terhindar dari gangguan jin, maka tidak haram (boleh). Atau menyembelih dengan tujuan kepada jin maka haram" (TTuhfatul Muhtaj 9/326)

Bila kita tipologikan, tradisi nyadran ini telahdifatwah hukumnya oleh sejak dahulu. Ada yang yang boleh dan ada pua yang gak boleh. Bahkan ada yang sampai menjurus syirik.

Syekh Abu Bakar Dimyati Syatha (banyak ulama Indonesia berguru kepada beliau diantaranya KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU) berkata saat mensyarahi ungkapan Ibnu Hajar diatas yang dikutip oleh muridnya dalam Fathul Mu'in:

 

ﺑﻞ ﺇﻥ ﻗﺼﺪ اﻟﺘﻘﺮﺏ ﻭاﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻠﺠﻦ ﻛﻔﺮ

 

Artinya: Bahkan jika menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada jin maka ia telah kafir (Ianatuth Thalibin 2/397).

Kedua, tingkepan atau 7 Bulanan Kehamilan Ibu. Subtansi dari 7 Bulanan adalah mendoakan kehamilan seorang ibu. Berikut dalil hadisnya:

بَابُ مَا جَاءَ فِي دُعَائِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَرَكَةِ لِحَمْلِ أُمِّ سُلَيْمٍ مِنْ أَبِي طَلْحَةَ ... وَقَدْ كَانَ أَصَابَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « بَارَكَ اللهُ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا » ، قَالَ : فَوَلَدَتْ لَهُ غُلاَمًا كَانَ اسْمُهُ عَبْدُ اللهِ ، قَالَ : فَذَكَرُوْا أَنَّهُ كَانَ مِنْ خَيْرِ أَهْلِ زَمَانِهِ  (دلائل النبوة للبيهقي – ج 6 / ص 406(

Artinya: Bab tentang riwayat doa Nabi Muhammad Saw dengan keberkahan untuk kehamilan Ummu Sulaim dari Abu Thalhah… Abu Thalhah bersetubuh dengannya, Kemudian Nabi Saw mendoakan: “Semoga Allah memberkati kalian berdua di malam kalian”. Ummu Sulaim melahirkan anak untuk Abu Thalhah, bernama Abdullah. Mereka menyebutkan bahwa Abdullah adalah termasuk orang terbaik di masanya” (HR Al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah, 6/406)

Lalu pertanyaanya adalah: apakah hal yang demikian ini tidak termasuk tabdzir? Di dalam Madzhab Syafi'iyah dijelaskan bahwa jika menghamburkan harta memiliki tujuan adalah diperbolehkan:

ﻭﺗﻀﻴﻴﻊ اﻟﻤﺎﻝ ﻭﺇﺗﻼﻓﻪ ﻟﻐﺮﺽ ﺟﺎﺋﺰ ﻣ ﺭ ﺳﻢ ﻋﻠﻰ ﺣﺞ

Artinya: "Menyia-nyiakan harta karena ada tujuan adalah boleh" (Hawasyai Asy-Syarwani  3/115)

Setealah demikian, pertanyaan selanjutnya adalah tentang fungsi dan maksud yang  dikehendaki dari tradisi: Tingkepan atau 7 Bulanan Kehamilan. Secara kasat mata, tradisi yang demikian ini tentu merupakan sedekahan serta selamatan di saat kehamilan. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh keluarga Imam Ahmad ketika istrinya hamil, yang menjual perhiasannya dan laku sebesar 8.5 dirham kemudian dibagi-bagikan saat istrinya hamil (Ibnu Al-Jauzi, Manaqib Ahmad bin Hanbal hal. 406-407)

Adapun yang diharamkan, sebagaimana yang dimaksud oleh Muktamar NU, adalah melempar kendi yang berisi air. Suatu praktek tradisi yang secara kasat, dzahiriyah, menyakiti. Keharamannya tidak terletak ada selamatan 7 bulanannya. Sudah maunya menyalahkan, justeru dia sendiri yang salah memahami (lihat foto di bawah)

Bila ditanya, apakah tidak bertentangan dengan hasil Muktamar NU? Tentu tidak. Yang dilarang dalam Muktamar NU sekali lagi jika sampai bertentangan dengan hukum Islam. Sedang tingkepan 7 bulan kehamilan merupakan implemintasi dari sedekah dan selamatan yang oleh orang jawa dikonstruk menjadi suatu budaya tersendiri.