Fenomena Selfie dan Tingkatan Kejiwaannya

 
Fenomena Selfie dan Tingkatan Kejiwaannya

LADUNI. ID, KOLOM- Berfoto atau selfie awalnya dianggap sebagai kegiatan yang asyik sebab sifatnya bisa menjadi 'penyimpan kenangan' jika dilakukan bersama kerabat atau keluarga. Namun, selfie bisa menjadi tanda masalah kejiwaan jika dilakukan secara berlebihan atau salah tempat.

Sebab, belum lama ini jurnalis asing dari The Guardian menuliskan tentang pengunjung yang asyik selfie di lokasi bencana tsunamin Banten-Lampung. Salah satu korban yang melihat hal tersebut merasa kecewa atas sikap mereka. Psikolog menilai, ini bisa jadi tanda kurangnya empati seseorang.

Selain itu, berikut masalah kejiwaan yang kerap kali dikaitkan dengan selfie, salah satunya dikenal dengan sebutan Selfistis.

Kalau merasa ada yang kurang saat belum mengunggah foto selfie ke media sosial, bisa saja kamu mengidap selfistis. Istilah ini muncul pertama kali para tahun 2014 saat kegiatan selfie dijadikan sesuatu yang wajib dilakukan.

Peneliti dari Nottingham Trent University dan Thiagarajar School of Management, India menemukan tingkatan dalam selfisitis yang banyak dilakukan oleh masyarakat, seperti:

1. Borderline - selfie sedikitnya tiga kali dalam sehari tetapi tidak sampai diunggah ke media sosial
2. Acute - Selfie sedikitnya tiga kali sehari dan mengunggah ketiganya ke media sosial
3. Chronic - Munculnya keinginan untuk selfie yang tidak terkendali, kapanpun, dimanapun dan mengunggahnya ke media sosial lebih dari enam kali dalam sehari

"Rata-rata pengidap selfitis cenderung caper (suka cari perhatian), namun kurang percaya diri, sehingga mengunggah selfie ke media sosial dianggap sebagai cara mereka untuk 'fit in' atau beradaptasi dengan orang-orang di sekitar mereka," tutur salah satu peneliti, Dr Janarthanan Balakrishnan dikutip dari Telegraph

:Peneliti dari Ohio State University menemukan bahwa pria yang memposting lebih banyak foto selfie mengalami kecenderungan narsisme.


"Temuan yang lebih menarik adalah bahwa mereka juga mendapat skor lebih tinggi pada sifat kepribadian anti-sosial lainnya, psikopati, dan lebih rentan terhadap obyektifikasi diri," tutur Jesse Fox, PhD, peneliti dari The Ohio State University, dikutip dari psychcentral.

Narsisme dianggap sebagai masalah kejiwaan sebab ditandai oleh keyakinan bahwa seseorang lebih pintar, lebih menarik, dan lebih baik daripada yang lain, tetapi dengan adanya rasa tidak aman yang menyertai.

Sumber: detik.com