Jujur dalam Pandangan Islam

 
Jujur dalam Pandangan Islam

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarok, MA

LADUNI.ID, Jakarta - Lafadz shidqu (jujur) dalam bahasa Arab dapat diaplikasikan ke dalam beberapa tempat. Masing-masing tempat memiliki makna atau pengertian yang berbeda-beda. Yaitu: (1) Shidqu fi al-Qaul (jujur dalam perkataan), (2) Shidqu fi al-niyat wa al-iradah (jujur dalam niat dan kehendak), (3) Shidqu fi al-azmi (jujur dalam berazam), (4) Shidqu fi al-wafa bi al-azmi (jujur dalam melaksanakan azamnya), (5) shidqu fi al-amal (jujur dalam perbuatan), dan (6) Shidqu fi al-maqamat (jujur dalam kedudukan dan tingkatan-tingkatan penghayatan agama).

Apabila masing-masing dari keenam derivasi tersebut tidak ditemukan pada diri seseorang, maka dapat dipastikan orang itu sedang berdusta atau berperilaku sebagai pendusta. Hal itu dapat dipastikan karena antara perilaku jujur dan dusta tidak mungkin dapat bersatu dalam satu masa, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.

Seseorang dapat dikatakan jujur dalam perkataannya apabila apa yang dikatakannya itu sesuai dengan realita. Untuk mencapai kejujuran ini, diperlukan sedikitnya dua hal sebagai penyempurnaan, yaitu: Pertama, menghindari kata-kata sindirian. Karena kata-kata sindiran itu dapat mengandung dua kemungkinan, benar atau dusta, sebab pemakaiannya berlawanan dengan hakikat yang sebenarnya.

Tidak semua dusta itu dilarang dalam agama. Ada beberapa kondisi tertentu yang membuat seorang boleh untuk melakukannya. Misalnya untuk suatu kemaslahatan dan perdamaian. Seorang panglima perang boleh menipu musuhnya dengan berkata dusta untuk memelihara rahasia pasukannya. Begitu pula seorang juru damai boleh berdusta kepada pihak-pihak yang berselisih untuk mendamaikan suatu pertengkaran di antara mereka. Dalam sebuah hadis, Ka’ab bin Malik menuturkan:

وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ غَزْوَةً إِلاَّ وَرَّى بِغَيْرِهَا  

(رواه البخاري)

Artinya   :  “Rasulullah s.a.w. tidak berangkat perang, kecuali beliau mengecohkan perjalanan pada tujuan yang lainnya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 2728)

 

Dari hadis di atas, Nabi s.a.w. melakukan sesuatu yang berlainan dengan kenyataan. Beliau pergi berperang mengambil jalan yang berlainan dengan jalan biasanya. Sehingga musuh terkecoh oleh tipu dayanya. Dusta juga diperbolehkan bagi seorang juru damai. Ia mengatakan kepada kedua belah pihak hal-hal yang baik dengan menyembunyikan hal-hal yang buruk di antara keduanya.

عَنْ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا.

(رواه البخاري ومسلم)

Artinya   :  Dari Ummi Kultsum binti ‘Uqbah, sesungguhnya ia mendengarkan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak termasuk pendusta orang yang mendamaikan perkara di antara manusia, ia berkata yang ini baik dan yang ini juga baik (keduanya tidak ada yang salah).” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 2495, Muslim: 4717. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)

 

Dalam hal demikian, perkataan yang bertentangan dengan kenyataan tidak dianggap sebagai suatu kedustaan, karena diucapkan dengan ikhlas dan bermaslahat bagi sesama. Langkah Kedua untuk mencapai kejujuran adalah memelihara makna jujur yang sebenarnya. Kejujuran berarti ketulusan, bukan dusta (kadzab) maupun pura-pura (munafiq). Kejujuran menuntut seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan hati nuraninya.

Seorang yang telah berikrar untuk tidak korupsi dan mengemban amanah rakyat dengan penuh tanggung jawab, tetapi pada kenyataannya ia sibuk bergelimang harta, mementingkan diri sendiri, dan berkhianat, maka ia belum memahami makna jujur. Ia tetap pendusta. Begitu pula seorang yang mengakui beriman kepada Allah s.w.t. sebagai Dzat Pencipta langit, bumi, dan segala isinya, tetapi ia masih tetap hanyut dalam kesibukan dunia sehingga melupakan akhirat, maka sungguh ia belum mampu memelihara makna jujur. Ia masih dicap sebagai penduta.

Jujur dalam Niat dan Kehendak

 Pembahasan jujur dalam niat dan kehendak tidak bisa dipisahkan dari persoalan ikhlas. Orang ikhlas adalah orang yang semua perbuatannya dilakukan karena Allah semata. Apabila dalam niat dan kehendak tergores suara hati untuk tujuan atau dzat yang selain Allah, maka niat dan kehendaknya tidak lagi ikhlas dan bersih. Karena ia telah mendustakan hatinya untuk berpaling kepada selain-Nya. Begitu pula seorang alim yang aktif dalam mengamalkan dan menularkan ilmunya kepada orang lain dengan niat untuk menarik kecenderungan mereka, maka tidak jujurlah niat dan kehendaknya. 

Imam Zakariya, pensyarah Kitab Risalah al-Qusyairi, pernah ditanya oleh seorang zahid, al-Junaid, apakah jujur dan ikhlas pada hakekatnya adalah sama atau berbeda. Ia menjawab bahwa keduanya itu berbeda. Jujur itu menjadi dasar pokok, sedangkan ikhlas adalah cabangnya. Ikhlas baru muncul setelah semua aktivitas dilakukan dengan penuh kejujuran. Segala amal dan perbuatan tidak akan diterima oleh Allah, jika tanpa keduanya. (Fatchurrahman: 1966: 1/211)

Lebih jelasnya, tentang ikhlas dan jujur dalam niat dan kehendak diuraikan dalam sebuah hadis sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهاَ، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّار،ِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ     (رواه مسلم والنسائي وأحمد)

Artinya    :  Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Pada hari kiamat nanti, orang yang pertama kali dihakimi adalah seorang yang mati syahid. Ia dihadapkan kepada Allah. Ia telah mengetahui kenikmatan yang akan diraihnya. “Amal apakah yang telah kamu kerjakan?” Tanya Allah. Orang itu menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu hingga mati syahid.” “Bohong kamu,” kata Allah, “Kamu berperang agar dijuluki sebagai orang pemberani. Sekarang kamu telah mendapatkan julukan itu.” Maka julukan tersebut dicampakkan-Nya kepada wajah orang tersebut hingga ia terlempar ke neraka.”

                    Kemudian dihadapkan seorang yang telah menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur’an. Ia pun telah mengetahui kenikmatan yang akan diperolehnya. “Amal apakah yang telah kamu kerjakan?” Tanya Allah. Orang itu menjawab, “Aku menuntut ilmu lalu mengajarkannya, dan aku pun membaca al-Qur’an di jalan-Mu.” “Bohong kamu,” kata Allah, “Kamu menuntut ilmu supaya dijuluki sebagai orang alim, dan kamu membaca al-Qur’an supaya digelari sebagai Qari. Sekarang kamu telah mendapatkan julukan dan gelar itu.” Maka julukan dan gelar tersebut dicampakkan-Nya kepada wajah orang tersebut hingga ia terlempar ke neraka.”

                    Selanjutnya dihadapkan seorang kaya yang menafkahkan semua hartanya. Ia telah mengetahui kenikmatan apa yang akan diraihnya. “Amal apakah yang telah kamu kerjakan?” Tanya Allah. Orang itu menjawab, “Tidak ada satu pun jalan yang Engkau suruh untuk menafkahkan harta di dalamnya, kecuali aku menafkahkan hartaku di dalamnya karena-Mu.” “Bohong kamu,” kata Allah, “Kamu melakukan itu agar dijuluki sebagai seorang dermawan. Sekarang kamu telah mendapatkan julukan itu.” Maka julukan tersebut dicampakkan-Nya kepada wajah orang tersebut hingga ia terlempar ke neraka.”  (Hadis Shahih, Riwayat Muslim: 3527, al-Nasa'i: 3086, dan Ahmad: 7928. teks hadis di atas riwayat Muslim)

Sebagian ulama mengaitkan jujur dalam niat itu dengan tulusnya bertauhid. Seorang munafik dikatakan tauhidnya tidak tulus, karena dalam hati mereka mengingkari kerasulan Muhammad s.a.w., meskipun dalam lahirnya mereka menyatakan sebagai orang beriman. Karena itulah, dari segi isi hatinya, mereka dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana firman Allah:

Artinya   :  “…dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar rasul-Nya, dan Allah mengetahui bahwa sesengguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. al-Munafiqun, 63: 1)