Nikmatnya Berhubungan Seks Sesudah Menikah

 
Nikmatnya Berhubungan Seks Sesudah Menikah

Seks dalam keluarga merupakan masalah suci. Islam memberi tempat bagi manusia untuk menghidupkan aktivitas seks bagi suami-istri. Allah menyediakan kemuliaan akhirat ketika suami-istri memenuhi kebutuhan seksnya, sekalipun itu sekedar untuk memperoleh kesenangan dari kekasihnya yang sah. Ketika seorang suami memandang istrinya, atau istri memandang suami, dengan penuh syahwat untuk bercumbu atau berjima’, Allah memandang mereka dengan pandangan rahmat.

Alhasil, seorang muslim yang baik juga perlu memahami tuntunan Islam mengenai seks agar perilaku dan kebutuhan seksnya mempunyai nilai di hadapan Allah.  Sikap ekstrem dalam masalah seks, sebaiknya dihindari. Menyibukkan dalam zikir sehingga melalaikan kebutuhan seks istrinya, tidak dipandang sebagai kemuliaan oleh agama. Begitu juga, tidak benar seorang istri menenggelamkan diri dengan kesibukan ibadah sehingga mengakibatkan kebutuhan seks suami terlantar.

Abu Sa’ad menuturkan, Rasulullah Saw. pernah menegur istri Shafwan ibn Mu’attal karena terlalu banyak beribadah sehingga mengganggu kehidupan perkawinannya. Wanita itu biasa membaca dua surah yang panjang-panjang dalam shalat Isya’nya, sehingga membuat suaminya menunggu. Ia juga kerap melakukan puasa tanpa seizin suaminya, yang membuatnya kelelahan dan menghindari setiap kesempatan untuk melakukan hubungan intim dengan suaminya di siang hari (karena hubungan seksual dilarang ketika melakukan ibadah puasa). Rasulullah memberikan peraturan demi suaminya, kata Ruqayyah Waris Maqsood. Beliau menganjurkan untuk membatasi bacaannya pada satu surah saja, dan puasa bila diizinkan suaminya.

Hal yang sama juga terjadi ketika Rasulullah Saw. mendengar tentang seseorang yang suka berkhalwat, yaitu ‘Abdullah ibn ‘Amr. Ia biasa melakukan shalat di sepanjang malam dan puasa di sepanjang siang. Rasulullah menasehatinya untuk tidak berlebihan dalam ibadahnya seraya mengatakan, “Matamu mempunyai hak atas kamu, tamumu mempunyai hak atas kamu, dan istrimu pun mempunyai hak atas kamu.” (HR Bukhari).

Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rahmat bagi suami-istri yang melakukan jima’. Allah juga memberikan kenikmatan surgawi yang sangat menyenangkan ketika kita berjima’. Jima’ memberikan kelegaan dan keindahan dalam rumah tangga. Jima’ sangat penting dalam menjaga keharmonisan hubungan suami-istri. Ia bisa mempererat jalinan perasaan dua orang yang berlainan jenis itu.

Jima’ begitu penting dalam menegakkan kehidupan rumah tangga. Tetapi ada yang lebih penting dari itu. Manusia membutuhkan ketenangan (sakinah), cinta kasih dan rahmah. Jima’ hanyalah salah satu wasilah (perantara) untuk mencapai ketenangan jiwa karena gejolak syahwat dapat disalurkan melalui jalan yang halal dan dihormati Allah. Karena itu, jima’ secara halal dapat menambah kecintaan suami-istri. Jima’ hanyalah wasilah. Ketika seseorang melakukan jima’, maka yang paling penting bukanlah kenikmatan bersetubuh, tetapi ketenangan jiwa, kejernihan hati, dan kelapangan dada dari beban karena desakan itu bisa disalurkan dengan baik. Sekalipun demikian, jima’ bukan semata peristiwa biologis. Ia juga merupakan peristiwa psikis. Ketika jima’ terhenti hanya sebagai peristiwa biologis, maka yang ia peroleh hanyalah kenikmatan saat inzal (ejakulasi bagi laki-laki, lubrikasi dan keterangsangan bagi wanita). Sesudahnya tak ada ketenangan hati dan ketenteraman jiwa saat menjalani kehidupan bersama dalam rumah tangga, saat mendidik anak, dan saat memperjuangkan komitmen kehidupan. Atau barangkali hal-hal semacam ini sudah tidak mengusik hati, karena keresahan jiwa sudah menjadikan mereka sibuk terhadap kenikmatan-kenikmatan periferal (semu).

Sumber : Sarkub Media