Ketika Suami Mengabaikan Ajakan Istri untuk Bersenggama

 
Ketika Suami Mengabaikan Ajakan Istri untuk Bersenggama
Sumber Gambar: creativemarket.com, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sering kali pembahasan soal istri yang menolak ajakan suami untuk bersenggama menjadi pembahasan hangat. Tindakan tersebut bisa dianggap sebagai nusyuz yang dilarang oleh agama. Tapi bagaiamanakah jika justru ada suami yang menolak ajakan istri untuk berhubungan intim. Pasalnya, hubungan intim sangat terkait dengan kebutuhan biologis yang harus terpenuhi. Namun ada kalanya kebutuhan tersebut tidak bisa terpenuhi karena satu dan lain hal. Lalu bagaimana pandangan ajaran agama Islam jika suami menolak ajakan hubungan intim dari istri?

Sebenarnya tidak ada riwayat bahwa seorang suami akan dilaknat Malaikat karena tidak mau memenuhi ajakan istrinya untuk melakukan hubungan badan. Hanya saja, jika penolakan suami ini sampai pada taraf menelantarkan hak istri yang menjadi kewajibannya, maka suami berdosa, karena dia menzalimi istrinya. Misalnya karena alasan bosan atau males, dia tidak pernah berhubungan badan dengan istrinya.

Pada dasarnya, Allah SWT perintahkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik. Dengan memenuhi setiap kebutuhannya, baik nafkah lahir, dan tentu saja nafkah bathin. Hakikatnya semua lelaki juga harus memahami bahwa wanita juga ingin mendapatkan kenikmatan batin bersama suaminya. Karena itu, perkara ini tidak bisa dipandangan sepele.

Allah SWT berfirman:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

"Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk suaminya)." (QS. Al-Baqarah: 228)

Karena itulah Rasulullah SAW mengingatkan beberapa sahabatnya yang waktunya hanya habis untuk beribadah saja, sehingga tidak pernah menjamah istrinya. Rasulullah SAW menegur mereka yang menelantarkan keluarganya. 

Dalam sebuah riwayat terdapat keterangan mengenai hal tersebut. Sayyidah Aisyah pernah bercerita bahwa ia pernah menenui Khoulah bintu Hakim, istrinya Utsman bin Madz’un. Ketika itu Nabi SAW melihat Khoulah yang tampak kusam, seperti tidak pernah merawat dirinya. Lalu beliau pun bertanya,

يَا عَائِشَةُ، مَا أَبَذَّ هَيْئَةَ خُوَيْلَةَ؟ 

"Wahai Aisyah, Khoulah kok kusut kusam ada apa?" 

Aisyah menjawab, "Ya Rasulullah, wanita ini punya suami, yang setiap hari puasa, dan tiap malam shalat Tahajjud. Akhirnya, dia seperti wanita yang tidak bersuami. Makanya dia tidak pernah merawat dirinya."

Setelah mendengan hal itu, kemudian Rasulullah SAW menyuruh seseorang untuk memanggil Utsman bin Madz’un. Ketika orang itu datang, Rasulullah SAW kemudian bertanya perilah hal itu dan memberinya nasihat.

يَا عُثْمَانُ، أَرَغْبَةً  عَنْ سُنَّتِي؟ ” قَالَ: فَقَالَ: لَا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَكِنْ سُنَّتَكَ أَطْلُبُ، قَالَ: ” فَإِنِّي أَنَامُ وَأُصَلِّي، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَنْكِحُ النِّسَاءَ، فَاتَّقِ اللهَ يَا عُثْمَانُ، فَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَصَلِّ وَنَمْ

"Wahai Utsman, kamu membenci sunnahku?" Utsman bin Madz’un menjawab, "Tidak Ya Rasulullah. Bahkan aku selalu mencari sunnah Anda." Lalu Rasulullah SAW menimpalinya, "Kalau begitu, aku tidur dan aku shalat Tahajjud, aku puasa dan kadang tidak puasa. Dan aku menikah dengan wanita. Wahai Utsman, bertakwalah kepada Allah. Karena istrimu punya hak yang harus kau penuhi. Tamumu juga punya hak yang harus kau penuhi. Dirimu punya hak yang harus kau penuhi. Silakan berpuasa, dan kadang tidak puasa. Silakan Tahajjud, tapi juga harus tidur." (HR. Ahmad)

Sebagaimana pesan di atas, hal itu juga pernah disampaikan dalam riwayat Salman kepada Abu Darda', dikarenakan adanya kabar bahwa Abu Darda' tidak pernah tidur dengan istrinya. Salman mengatakan sesuatu yang ternyata juga dibenarkan oleh Nabi SAW:

إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِضَيْفِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ

"Sesungguhnya dirimu punya hak yang harus kau tunaikan. Tamumu punya hak yang harus kau tunaikan. Istrimu punya hak yang harus kau tunaikan. Berikan hak kepada masing-masing sesuai porsinya." (HR. Turmudzi)

Dengan demikian, bisa dipahami bahwa seorang suami berkewajiban dalam memenuhi tidak saja kebutuhan lahir, melainkan juga kebutuhan batin istrinya.

Ketika suami melayani permintaan istri, tidak selalu harus didasari karena memuaskan dorongan nafsu pribadinya. Dia bisa menghadirkan niat yang lain, seperti agar mendapatkan keturunan atau berniat untuk memuaskan istrinya. Sehingga kehormatan istrinya lebih terjaga. Karena perlu dipahami bahwa setiap hubungan badan suami istri itu bisa bernilai sedekah.

Nabi SAW bersabda:

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Dalam setiap hubungan badan yang kalian lakukan, bernilai sedekah.” (HR. Ahmad)

Dalam Kitab Al-Mughni terdapat sebuah riwayat dari Ibnu Qudamah yang pernah mengisahkan tentang dialog Imam Ahmad dengan muridnya. Dialog tersebut berkenaan dengan pembahasaan di atas.

هَلْ يُؤْجَرُ الرَّجُلُ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ وَلَيْسَ لَهُ شَهْوَةٌ؟ فَقَالَ: إِيْ وَاللهِ يُحْتَسَبُ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَرِدِ الْوَلَدُ؟ يَقُوْلُ: هَذِهِ امْرَأَةٌ شَابَّةٌ لِمَ لَا يُؤْجَرُ؟

"Apakah suami mendapat pahala ketika dia berhubungan badan dengan istrinya, sementara dia tidak bernafsu?" Imam Ahmad menjawab, "Tentu saja, demi Allah. Dia bisa berharap dapat anak." "Kalau tidak menghasilkan anak?" tanya sang murid. Lalu Imam Ahmad menjawab kembali, "Ini istrinya masih muda, bagaimana mungkin tidak mendapatkan pahala?" 

Jadi demikian bisa dimengerti bahwa meskipun suami lagi tidak selera, tapi melayani istri dalam hal ini, bisa berpahala. Sehingga sangat dianjurkan memenuhi ajakan istrinya untuk bersenggama. Tetapi jika memang tidak bisa, hal tersebut tentu bisa didialogkan dengan baik-baik, dan tetapi harus saling peduli. Persoalan ini juga berlaku bagi seorang istri yang pada momen tertentu tidak bisa memenuhi permintaan suaminya. Suami tidak boleh memaksa dan menundingnya berbuat nusyuz, tetapi harus dipahami permasalahan sebenarnya yang terjadi, sehingga ada komunikasi yang baik di antara pasangan suami istri. Suami tidak egois pada dirinya sendiri. Begitu juga Istri tidak arogan dan semena-mena kepada suaminya. Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 11 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim