Fungi Pondok Pesantren bagi Nahdlatul Ulama

 
Fungi Pondok Pesantren bagi Nahdlatul Ulama

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di tanah air. Lazimnya dalam pesantren, seorang ulama dikelilingi beberapa santri yang mempelajari agama Islam sekaligus menjadi penerus penyebaran Islam. Dengan bahasa lain, santri dididik menjadi kader penerus perjuangan Islam serta dilatih untuk menjadi pelayan masyarakat. Oleh karena itu, di samping pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam dan lembaga perjuangan Islam, juga sebagai lembaga pelayanan masyarakat.

Ketika modernisasi Islam hadir di tanah air yang ingin memajukan pendidikan Islam dengan mengadakan lembaga pendidikan Islam di luar pesantren, sekaligus meninggalkan pesantren (karena dianggap tidak mampu mengejar kemajuan zaman), maka ulama pengasuh pesantren menolak keras hal tersebut. Mereka bertekad, betapapun melarat, lambat dan beratnya pesantren harus tetap dipertahankan. Berbagai kelemahannya harus diperbaiki, tidak dengan meninggal- kannya. Hal itu bukannya tanpa alasan, karena pesantren sudah berhasil mendidik para kader Islam yang menyatu dengan masyarakat. Demikian pula pesantren sudah menjadi kiblat serta panutan umat. Meninggalkan pesantren berarti meninggalkan umat dengan segala keterbelakangannya. Apa artinya maju sendiri, sedang umat tetap tertinggal? Bukankah itu suatu dosa?

Jauh sebelum modernisme Islam datang, para ulama pengasuh pesantren berdiri sendiri-sendiri, belum ada ikatan formal struktural organisatoris. Hubungan antar ulama dilangsungkan dengan silaturrahmi tradisional seperti pertemuan-pertemuan haul, imtihan, walimah, dan sebagainya. Bahkan seringkali juga dipererat dengan besanan.

Keinginan untuk mendirikan organisasi formal struktural bukan tidak ada, tetapi pertumbuhannya masih lambat. Hal itu dimulai dengan kelompok-kelompok pengajian keliling dengan berbagai nama dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Lompatan penting yang dilakukan para ulama dalam berorganisasi waktu itu adalah dengan terwujudnya kelompok diksusi Tashwirul Afkar di Surabaya yang dipelopori oleh KH. A. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Walaupun akhirnya dua pendiri kelompok diskusi tersebut berpencar, Kiai Mansur masuk Muhammadiyah, sedang Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Ulama.