Wisata dan Ziarah di Makam Syeikh Muhammad Nasirin ( Mbah Singo Modo)

Memperoleh Donasi Sebesar : Rp 0. Donasi Sekarang
 
Wisata dan Ziarah di Makam Syeikh Muhammad Nasirin ( Mbah Singo Modo)

Sepintas Sejarah

Riwayat tokoh yang saat ini makamnya berada di dukuh Pungkruk Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar ini, diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan. Tidak aneh jika akhirnya muncul beberapa versi yang berbeda, juga pergeseran dari fakta menjadi legenda. Berdasarkan penuturan juru kunci makam, yang juga merupakan salah satu keturunan pengikut Eyang Singomodo, sejarah bermula dari terjadinya kekacauan di sebuah kerajaan. Tidak diketahui nama kerajaan tersebut, hanya diyakini Eyang Singomodo adalah tokoh yang memiliki kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.

Dalam kekacauan tersebut beberapa prajurit (5 orang) dari pihak yang terdesak mengevakuasi salah seorang tokoh penting kerajaan dengan menyusuri Bengawan Solo menggunakan gethek bambu. Tokoh tersebut diduga adalah seorang guru/suhu dari para Prajurit kerajaan. Nama sebenarnya dari tokoh tersebut Syech Muhammad Nasyir. Untuk menyamarkan identitas aslinya, beliau berganti nama menjadi Singomodo.

Sedang tentang kelima prajurit pendhereknya, melalui laku spiritual, Slamet meyakini mendapat penjelasan bahwa mereka bernama Sholahudin, Raden Mustofa, Rizal, Munir dan Sholeh. Salah satu prajurit tersebut, yakni Raden Mustofa, dia juga merupakan trah dari kerajaan tersebut. Dalam pelariannya, Eyang Singomodo memerintahkan kepada kelima prajuritnya untuk tidak melabuhkan perahu, dan menyerahkan kepada Tuhan dimana perahu akan terdampar.

Konon tiba-tiba ada angin besar yang membuat perahu besar keenam penumpangnya terlempar ke daratan yang sekarang dikenal dengan nama Dukuh Pungkruk. Di situ pulalah Eyang Singomodo menetapkan sebagai tempat menyingkir yang aman.

Mereka mendirikan gubuk beratap ilalang, dan mulai membuka hutan untuk dijadikan pemukiman, hingga akhirnya para prajurit tersebut menikah dengan penduduk di sekitar situ dan beranak pinak. Sementara mengenai Eyang Singomodo, tidak jelas apakah beranak istri atau tidak, yang jelas dalam pelariannya ia tidak didampingi orang lain kecuali lima prajurit yang mengevakuasinya.

Di kompleks pemakamannya saat ini hanya ditemukan 6 kuburan yakni kuburan Eyang Singomodo dan kelima prajuritnya. Diyakini Eyang Singomodo tidak menikah sampai akhir hayatnya. Perkampungan yang dirintis Eyang Singomodo akhirnya berkembang menjadi desa yang ramai pada jamannya. Dia kemudian mendirikan sebuah Masjid dan pondok pesantren.

Murid Eyang Singomodo banyak, kurang lebih sekitar 100 orang, dan akhirnya menyebar ke berbagai daerah untuk melakukan siar islam. Konon tidak hanya bangsa manusia yang berguru padanya tetapi ada juga bangsa jin. Beliau menerimanya sebagai murid dan diberi tempat tetapi untuk makan harus cari sendiri.

Masyarakat sekitar menghubung-hubungkan banyaknya tempat wingit atau angker sekitar pemakaman yang ada sekarang sebagai tempat tinggal murid dari bangsa jin. Tempat-tempat tersebut hingga kini dibiarkan saja dan tidak ada yang berani untuk mengolahnya. Karena perkembangan perkampungan itu pula, Eyang Singomodo menetapkan luas kepemilikan tanahnya dengan cara melemparkan batas kepemilikan tanah bagi kelima prajuritnya.

Penduduk lain dan juga dirinya sendiri. Bagi dirinya, Eyang Singomodo menetapkan luas kepemilikan tanahnya dengan cara melemparkan sebuah batu. Batu itu kemudian dicari dengan berjalan kearah melingkar(temu gelang) menggunakan tongkat yang diseret. bekas seretan tongkat itulah batas kepemilikan tanah Eyang Singomodo. Hingga kini batas itu masih ada, berupa pematang dan beberapa diantaranya ditumbuhi tanaman perdu.

Selain menetapkan wilayah, kepada kelima prajuritnya beliau berwasiat, siapa diantara kelima prajuritnya yang memiliki anak sulung laki-laki, maka mereka dan keturunannya yang kelak wajib menjaga makamnya sementara prajurit yang beranak sulung perempuan, wajib merawat penganggon yang diartikan sebagai segala kelengkapan pakaian, atribut dan pusaka.

Dari kelimanya, tiga diantaranya beranak sulung laki-laki dan dua lainnya beranak sulung perempuan. Slamet, juru kunci yang sekarang ini (yang juga merupakan PTD Desa Kandangsapi) adalah juga merupakan keturunan dari salah satu prajurit yang beranak sulung laki-laki tersebut. Eyang Singomodo adalah seorang yang bijak dan berilmu tinggi (sakti).

Salah satu legenda tentang kesaktiannya adalah beliau bisa menghilang ketka jaman penjajahan Belanda. Ketika beliau dan muridnya dicari atau diburu oleh orang Belanda, hanya dengan bersembunyi dibalik sapu lidi murid-muridnya tidak tampak oleh orang-orang Belanda.
 

Lokasi Makam

Komplek Makam Syekh Muhammad Nasirin ( Mbah Singo Modo) berada di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen