Biografi KH. Hasan Thuba (Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin)

 
Biografi KH. Hasan Thuba (Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin)
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren
3.2  Kiprah di Nahdlatul Ulama

4.    Chart Silsilah Sanad

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Hasan Thuba Muhammad lahir pada Hari Sabtu Pahing, jam 11.30 siang tanggal 4 Dzulhijjah 1369 dan bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1950 di desa Arjawinangun (tepatnya di blok pesantren) kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad dengan Nyai Ummu Salmah. Ibunya adalah putri KH. Syathori pengasuh Pondok Pesantren Arjawinanngun Cirebon, Jawa Barat. Sementara ayahnya, KH. Muhammad adalah putra H. Asyrofuddin dan Hj. Zainab, menurut keterangan bahwa Asyrofuddin adalah seorang keturunan Gujarat India yang hijrah ke Semarang.

KH. Hasan Thuba adalah putra pertama dari KH. Muhammad. Dan berikut ini adalah putra-putri KH. Muhammad:

  1. KH. Hasan Thuba Muhammad, pengasuh PP. Raudlatut Thalibin, Tanggir Jawa Timur.
  2. KH. Husein Muhammad, pengasuh Pesantren Dar el Salma Arjawinangun Cirebon.
  3. KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, pengasuh Pesantren Dar al Qur`an Kebon baru Arjawinangun Cirebon.
  4. Nyai Hj. Ubaidah Muhammad, pengasuh Pesantren Lasem Jawa Tengah.
  5. KH. Mahsun Muhammad M.A, pengasuh Pesantren Dar al Tauhid Cirebon.
  6. Nyai Hj. Azzah Nur Laila, pengasuh pesantren HMQ Lirboyo Kediri.
  7. KH. Salman Muhammad, pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang Jawa Timur.
  8. Nyai Hj. Faiqoh, pengasuh pesantren Langitan Tuban Jawa Timur.

Semua saudara beliau yang menjadi pengasuh di banyak pesantren menunjukkan bahwa mereka merupakan keturunan keluarga yang peduli terhadap pendidikan agama dan pesantren. Hal ini bisa dilihat dari figur kakek mereka KH. Syathori yang giat memperjuangkan pendidikan dengan menggunakan sistem pendidikan madrasah, padahal pada waktu itu sistem pendidikan madrasah belum banyak digunakan oleh pesantren.

1.2 Riwayat Keluarga
Sepulang dari pengembaraannya mencari ilmu di Makkah, KH. Hasan mengabdikan diri di pesantren kakeknya di kampung halamannya, Arjawinangun, Cirebon, selama beberapa bulan sebelum akhirnya menikah dengan putri gurunya, KH. Muslih (Mbah Shoim) yang bernama Dra. Hj. Khodijah. Pernikahan beliau kemudian dilangsungkan pada hari Kamis malam Jumat, tanggal 19 September 1986 M, bertepatan dengan tanggal 14 Muharram 1406 H.

Setelah menikah, beliau hidup di Tanggir untuk meneruskan perjuangan mertuanya KH. Mushlih, mengajar dan mengelola madrasah sekaligus pondok putri bersama istri tercinta.

1.3 Wafat
KH. Hasan Thuba wafat pada jam 8.45 WIB, Hari Senin, 14 Desember 2009 di rumahnya. Menjelang wafatnya, KH. Hasan Thuba lebih sering terlihat membaca istighfar dan Nadham Jaliyatul Kadar (Nadham yang memuat nama-nama sahabat Rasul yang ikut Perang Badar). Nampaknya beliau rindu berkumpul dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Hidup di lingkungan dan keluarga pesantren yang penuh dengan nuansa religius, membuat Kyai Hasan kecil merasa berkepentingan untuk tekun mengaji dan cenderung meniru sifat dan kepribadian kakek, ayah dan paman-pamannya yang telah mengabdikan diri terjun dalam dunia pendidikan. Dari sinilah jiwa agamis dan keilmuan mulai terbentuk dalam jiwa Kyai Hasan kecil dengan sendirinya.

2.1 Pendidikan
Sebelum memasuki usia SD, orang tuanya diam-diam telah memperkenalkan dunia pesantren, kehidupan santri dengan sentuhan kisah-kisah para rasul dan para salafus sholih (Ayahnya, KH. Muhammad seringkali menjadi pusat kerumunan anak-anak karena keahliannya dalam berkisah dan ketekunannya membuat nadham) sehingga seringkali Kyai Hasan kecil mulai merespon dan tertarik dengan dunia ini (pesantren).

Seringkali Kyai Hasan kecil minta mesantren jika besar nanti. Semangat ini semakin menyala dengan seringnya kebiasaan berkumpul dan berbaur dengan para santri kakeknya, berdiam di bilik-bilik santri, tidur bersama dan kadang-kadang makan satu nampan bersama mereka.

Dengan kasih sayang, ketelatenan dan kesabaran, orang tuanya memperkenalkan huruf-huruf Arab, membunyikan, mengeja huruf demi huruf, memperkenalkan metode baca Al-Qur’an Al-Baghdady (semacam iqro’ sekarang ) menyuruhnya mengaji Juz ‘Amma (turutan) kepada KH. Mahfudz Thoha, menantu KH. Syathori (paman).

Tercatat dalam buku harian ayahnya, Kyai Hasan kecil mengkhatamkan Juz ‘Amma pada usia 13 tahun dan diwisuda pada tanggal 2 Agustus 1963 M/12-3-1383 H, bersama pamannya, Kyai Ibnu Ubaidillah, sepupunya Kyai Dahlan Baidhawi dan adiknya, Kyai Husein Muhammad.

Kyai Hasan memulai pendidikan formalnya di SR (sekarang SD AWN 1) di pagi hari dan Madrasah Ibtidaiyyah Wathoniyah pada sore hari. Dua lembaga itu beliau ikuti dalam tahun yang bersamaan, sehingga pada tahun yang sama pula beliau telah tamat dari dua lembaga.Tercatat, Kyai Hasan tamat SR pada 17 Juli 1963. Satu bulan sebelum wisuda Juz ‘Amma.

Setamat SD dan MI, Kyai Hasan melanjutkan pendidikannya ke SMP N Arjawinangun selama 3 tahun. Disinilah beliau mengenal banyak ilmu umum, dan lebih banyak lagi mengenal warna kehidupan dan watak orang lain. Karena di sekolah ini, disamping menampung anak-anak dari kalangan muslim tapi juga dari komunitas tionghoa.

Sebagaimana umumnya teman-teman seusianya, beliau terlihat senang jika berkumpul dan bermain. Terutama dalam hal bermain sepak bola, termasuk juga yang ikut bermain adalah pamannya, Kyai Ibnu Ubaidillah.

Kyai Hasan juga aktif dalam kegiatan IPNU dan sering muncul dalam gabungan grup drumband dengan Kyai Ibnu sebagai Mayoret dan bahkan sempat menjadi sekretaris IPNU Ranting Arjawinangun dari tahun 1965-1967 M.

Setamat SMP tahun 1967 M, Kyai Hasan pergi ke berbagai pondok di Jawa Timur. Pondok pertama yang disinggahi adalah Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dibawah asuhan KH. Yusuf Hasyim, namun nampaknya karena hanya mengaji sehingga hanya beberapa bulan saja di sana. Selanjutnya beliau pergi ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.

Di Pesantren Lirboyo, Kyai Hasan memulai belajar dengan memasuki kelas 1 Tsanawiyah (setingkat Aliyah sekarang) selama tiga tahun. Tidak puas dengan ilmu yang didapat di kelas, pada jam-jam tertentu Kyai Hasan menyempatkan diri mengaji kepada KH. Makhrus Aly.

Ketika waktu libur tiba (Bulan Ramadhan), saat teman-temannya pulang kampung, Kyai Hasan bersama Kyai Ibnu justru memanfaatkan waktu untuk mengikuti ngaji pasaran sampai khatam dan baru pulang ke rumah, beberapa hari menjelang lebaran.

Di antara pondok yang pernah dikunjunginya sebagai kegiatan extrakurikuler adalah sebuah Pondok Pesantren Ngunut Tulung Agung, dalam rangka mengaji pasaran Kitab Mahalli kepada KH. Ali Shodiq.

Setelah tiga tahun di Pondok Lirboyo (1967-1969), perjalanannya dilanjutkan ke Pondok Kaliwungu. Di sini Kyai Hasan muda mengaji kepada banyak Kyai, di antaranya adalah KH. Ahmad Badawi, dan kepada KH. Dimyathi, beliau mengaji Kitab Fathul Wahab. Sedangkan kepada KH. Humed, beliau mengaji Kitab Mahalli, dan kepada KH. Abu Khoir, beliau mengaji Kitab Jawahirul Maknun.

Perjalanan selanjutnya adalah ke Pondok Poncol Salatigo, Jawa Tengah untuk mengaji Kitab Shahih Muslim dan Sunan Abi Daud. Setelah khatam, pada kesempatan selanjutnya, selama dua kali Ramadhan, Kyai Hasan pergi ke Mranggen untuk pasaran mengaji beberapa kitab, di antaranya adalah Kitab MahalliJam’ul Jawami dan Bidayatul Mujtahid.

Setelah ke beberapa pondok di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Kyai Hasan dengan restu orang tuanya memutuskan nyantri di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Tanggir, Singahan, Tuban, Jawa Timur, yang kemudian menjadi tempat tinggalnya.

Tercatat, Kyai Hasan pergi ke Pondok Tanggir bersama pamannya, Kyai Ibnu Ubaidillah pada Bulan Maulid tahun1391 H, bertepatan dengan hari Senin, tanggal 20 Mei 1971 M. Di pondok ini, selain menimba ilmu dari KH. Mushlih (yang nantinya menjadi mertua beliau), pada tahun 1974, di samping menjadi sekretaris pondok, Kyai Hasan juga diangkat menjadi dewan guru Tsanawiyah dan Aliyah Madrasah Miftahul Huda atas mandat dari KH. Muslih setelah melihat potensi keilmuan yang dimilikinya.

Pada tahun yang sama, Kyai Hasan diangkat menjadi sekretaris pondok sampai 1976. Selanjutnya tugas Kyai Hasan adalah menyelesaikan tugas mengajar sampai tahun 1978.

Kemudian tercatat bahwa di antara kitab yang sempat beliau ikuti dari KH. Mushlih antara lain adalah Kitab Fathul WahabJam'ul Jawami’Mughnil LabibTafsir MunirUqudul Juman (ada hal yang menarik, diceritakan bahwa Kyai Hasan dan temanya sekaligus pamannya, Kyai Ibnu, mereka berdua sama-sama hafal Nadham ‘Uqudul Juman di luar kepala), dan Kitab Manhaj Dzawinnadhor.

Tahun 1978, masih bersama pamannya, Kyai Ibnu Ubaidillah, Kyai Hasan melanjutkan pendidikannya ke Makkah Al-Mukarromah, tepatnya kepada Sayyid Muhammad Al-Maliki. Seorang ulama besar yang teguh memegang prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah. Di sini Kyai Hasan mengaji kitab-kitab baru yang tidak sempat dijumpai ketika mondok di dalam negeri, sehingga tentu saja terlihat semakin serius menekuni ilmu agama.

Seringkali dalam waktu waktu yang diizinkan pengasuh, Kyai Hasan pergi ke Masjidil Haram untuk sekedar mendengarkan pengajian (halaqoh ilmiyah) yang digelar para ulama setempat, i’tikaf, membaca Al-Qur’an termasuk juga untuk umroh, dan pada bulan-bulan haji beliau pun bergabung bersama teman-temannya dan jamaah haji yang lain untuk menunaikan rukun islam yang ke lima, yakni ibadah haji.

Selama di Makkah (di pesantren Sayyid Muhammad) Kyai Hasan bertemu banyak pelajar Indonesia yang juga belajar menimba ilmu dari Sayyid Muhammad. Dengan ilmu yang didapat dari pondok pesantren selama di tanah air, Kyai Hasan dipercaya gurunya mengajar santri-santri baru, di samping juga menulis kitab-kitab karya Sayyid Muhammad yang telah diedit sebelumnya.

Di tengah perjalanan menimba ilmu di Makkah, baru satu tahun menikmati kehidupan kota Makkah, Kyai Hasan harus tabah menerima kenyataan meskipun sangat pahit. Pada bulan Oktober 1979 Ayahnya dipanggil ke hadirat Allah SWT dan empat bulan berikutnya tepatnya pada hari Kamis Bulan Februari 1980 Allah mengujinya kembali dengan memanggil ibunya.

Hanya dengan bekal tekad, Kyai Hasan harus membekali dirinya dengan kemandirian untuk bisa bertahan menjalani hari-harinya di Makkah, karena sudah tentu tak ada lagi support dari orang tuanya. Surat-surat dari orang tuanya pun tak akan lagi diterimanya.

Sementara teman akrab yang juga pamannya juga telah terlebih dulu pulang ke tanah air pada tahun 1980. Tapi masih ada adiknya, Kyai Ahsin Sakho yang saat itu kuliah di Madinah University sering datang berkunjung ke Makkah untuk sekedar berbagi pengalaman sebagai dua manusia yang senasib.

Pada tahun 1982, Kyai Hasan terpilih menjadi Ketua Pelajar Indonesia di Makkah sampai tahun 1986. Dan di tahun 1986, Kyai Hasan pulang ke tanah air dengan membawa banyak pengalaman hidup selama di Makkah dan tentu saja bekal keilmuan yang didapat selama lebih kurang 9 tahun (1978-1986).

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Muhammad (ayah)
  2. KH. Mahfudz Thoha, menantu KH. Syathori (paman),
  3. KH. Yusuf Hasyim,
  4. KH. Makhrus Aly,
  5. KH. Ali Shodiq,
  6. KH. Ahmad Badawi,
  7. KH. Dimyathi,
  8. KH. Humed,
  9. KH. Abu Khoir,
  10. KH. Mushlih,
  11. Sayyid Muhammad Al-Maliki,

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Pengasuh Pesantren
KH. Hasan Thuba termasuk orang yang istiqomah dan telaten membimbing santri-santrinya. Setiap hari, menjelang subuh misalnya, beliau mengajak para santri bersama-sama taqarrub kepada Allah, dengan membaca Jaliyatul KadarSubhaanallah wal Hamdulillah 100 x, Hasbunallah wa Ni’mal Wakiil 450 x dan ditutup dengan Surat Al-Waqi’ah.

Setiap kali bacaan-bacaan itu selesai, dilanjutkan dengan shalat Subuh berjamaah. Selesai shalat Subuh, dilanjutkan dengan membaca Wirdul Lathif, Surat Yasin dan Rotib Al-Haddad bersama-sama.

Di pagi hari beliau membaca kitab kuning kepada santri sampai menjelang siang. Lalu dilanjutkan dengan mengajar di sekolah. Terkadang di sela-sela waktunya mengajar tidak jarang beliau harus menemui tamu.

Di sore hari jam 4, beliau kembali membaca kitab sampai menjelang Maghrib. Beliau istirahat sebentar dan melanjutkan dengan berjamaah. Lalu setelah jamaah Maghrib beliau melanjutkan dengan membaca kitab kuning kepada para santri di ndalem KH. Mushlih.

Selain mengaji untuk santri, setiap hari Ahad beliau menyempatkan diri melayani masyarakat lewat majelis ta’lim yang dirintisnya. Beliau juga menjabat sebagai Kepala Madrasah Aliyah Miftahul Huda Kegiatan demi kegiatan tersebut dijalani hampir setiap hari, sampai akhirnya Allah memanggil beliau.

Begitu banyak kegiatan yang dilakukan dan amanah besar yang diembannya. Sampai akhirnya beliau jatuh sakit dan aktivitas mengaji diwakilkan kepada lebih dari sepuluh santri senior. Masing masing memegang satu kegiatan. Ini menunjukkan bahwa aktivitas KH. Hasan cukup banyak, sampai harus diwakilkan kepada sepuluh santri senior. 

3.2 Kiprah di Nahdlatul Ulama
Kiprah KH. Hasan Thuba di Nahdlatul Ulama sudah dimulai ketika beliau masih duduk menjadi siswa (IPNU) hingga menjadi A'wan Syuriyah. Beliau banyak berkiprah di beberapa organisasi, di antaranya adalah:

  1. 1965-1967 Sekretaris IPNU ranting Arjawinangun
  2. 1974-1976 Sekretaris PP.Tanggir
  3. 1982-1986 Ketua Pelajar Indonesia di Makkah
  4. 1989 Anggota Dewan Syuro Alumni Sayyid Muhammad Al-Maliki
  5. 1990 Ketua LDNU cabang Tuban
  6. 1995 A’wan Syuriyah NU cabang Tuban, Katib 1 dewan syuro PKB Tuban
  7. 1999-2002 Wakil Ketua Dewan Syuro
  8. 2002-2007 Dewan Syuro PKB
  9. 2007-2009 A’wan Suriyah NU cabang Tuban

4. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Hasan Thuba dapat dilihat di sini

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 09 Agustus 2023 dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 14 Desember 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya