“PBNU”, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama

 
“PBNU”, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu Ramadan (saya lupa tepatnya) saya menerima panggilan untuk menghadap ke Leteh, Rembang. Saya mengajak kakak saya, dan dua teman lain ke sana.

Tepat seusai azan magrib berkumandang, saya sudah sampai di kediaman Mas Yahya Cholil Staquf. Kami duduk melingkari Mas Yahya yang bersandar di tembok, di lantai atas, setelah rampung menunaikan shalat magrib dan dalam keadaan perut kenyang.

Satu batang rokok Dji Sam Soe ditarik Mas Yahya dari warangkanya, dibakar dan dihisap dengan khidmat. Mak kepprruuulll, asap kental keluar menutupi wajah beliau.

"Mail, kamu tahu anugerah paling istimewa yang diberikan Allah kepada Indonesia?" sergah Mas Yahya Staquf.

"Pancasila?" jawab saya asal.

"Bukan!"

"Sukarno dan kemerdekaan?"

"Bukan!"

"Lantas, apa, Mas?"

"Mbah Maimoen Zubair!"

Dji Sam Soe dihisap kembali, dihisap dalam-dalam, dan sekali lagi: mak krrepuuul…

"Saat Mbah Moen masih remaja, ayah beliau (baca: Mbah Zubair Dahlan) sering merenung (bergumam-gumam) dan tiba-tiba ngomong ke Mbah Moen: 'Donyo iki brubah, Cung, donyo iki brubah!' (dunia ini berubah, Nak, dunia ini berubah)."

Saya mencabut sebatang A-Mild, tanpa melihat bungkus rokok karena tak mau melewatkan kalimat lanjutan beliau.

"Kiai-kiai kita itu dulu tidak hanya sekadar intelektual dan akademisi, tapi sebagai wali-wali peradaban."

"Mbah Hasyim itu kekasih Allah yang ahli hadis. Dan tidak mungkin NU didirikan beliau hanya menjadi sekadar firqoh (sekte), atau sekadar menjadi kompetitor dengan aliran lain.

"Sangat tidak pantas!"

Saya membakar rokok yang saya pegang, dan menghisapnya agak dalam.

"Mbah Moen itu ulama yang masih kita punyai (waktu itu Mbah Moen masih sugeng) dan kehidupan beliau melewati masa-masa paling fundamental di negeri ini: dari era penjajahan Belanda, Jepang, Era Sukarno, PKI, ORBA, Reformasi, hingga sekarang."

"Bisa dibayangkan bagaimana Mbah Moen begitu mengerti dengan Indonesia, dan betapa pahamnya Mbah Moen tentang Indonesia seharusnya menuju ke mana?"

"Kiai sesepuh beliau saja masih keraya-raya menjalin simpul-simpul Indonesia, dan bagaimana dengan kita?"

Beberapa tahun kemudian saya melihat video Mas Yahya berada di sebuau forum di Israel, dan ternyata untuk sampai ke sana harus dilakukan secara Pramuka, petak-umpet, karena hampir saja safari perdamaian itu digagalkan oleh intelijen (tidak hanya dari Indonesia), dan beberapa pihak baik dari Indonesia maupun Amerika, Australia, dan lainnya.

Pagi tadi Mas Yahya menerbitkan buku berjudul "PBNU", yang diurai dengan akronim yang berbeda: "Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama"

(Oleh Rumail Abbas)