Rasulullah Sangat Mencintai Semua Umatnya

 
Rasulullah Sangat Mencintai Semua Umatnya

LADUNI.ID, Jakarta - Dari sejarah, kita mengetahui betapa cinta Rasulullah Saw kepada semua umatnya, manusia pada umumnya, membentang panjang hingga akhir hayatnya. Diriwayatkan, di akhir hayatnya, beliau Saw mewasiatkan dua hal: “Jagalah salat dan jagalah orang-orang (lemah) di antaramu, umatku, umatku, umatku….”

Adakah sepanjang sejarah seorang pemimpin yang seluhung dan sedalam itu cintanya kepada umatnya? Tak ada.

Beliau tak memikirkan dirinya, keluarganya, orang-orang dekatnya saja, tetapi semua umatnya, termasuk kita yang hidup di akhir zaman ini, yang tak pernah berjumpa dengannya, tetapi alhamduliLlah dikaruniaiNya iman kepadaNya Swt dan pula RasulNya Saw.

Suatu hari, diriwayatkan, Rasul Saw sedang berkumpul dengan sejumlah sahabatnya. Beliau Saw berkata, “Aku sangat rindu kepada saudara-saudaraku.”

Abu Bakar ash-Shiddiq yang ada di sisinya berkata, “Ya Rasul, bukankah kami inilah saudara-saudaramu, kami selalu ada di sisimu.”

Rasul Saw berkata, “Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku.”

Sahabat lain berkata, “Ya Rasul, kami inilah saudara-saudaramu, kami rela mengorbankan apa pun demimu.”

Rasul Saw kembali berkata, “Bukan, kalian ini sahabat-sahabatku. Kalian adalah orang-orang yang berjumpa denganku dan beriman kepadaku, kalian adalah orang-orang yang beruntung. Adapun saudara-saudaraku adalah orang-orang yang tak pernah berjumpa denganku, tetapi mereka beriman kepadaku, mereka pun adalah orang-orang yang beruntung.”

Beliau Saw sangat memikirkan masa depan kita ini, yang tak pernah berjumpa dengannya, diangkatnya sebagai saudaranya. Siapakah yang tak ingin menjadi saudara Rasul Saw? Tentu semua kita mengimpikannya. Sangat mengimpikannya. Allahuma amin.

Rasul Saw diutus oleh Allah Swt sebagai nabi penutup para utusanNya dengan membawa sepenuh kesempurnaan ajaran dan keteladanan tanpa cela. Begitu banyak ayat dalam al-Qur’an yang memperlihatkan puja-puji Allah Swt langsung kepada utusannya yang disebutkan sebagai a’dhamul asbab litakwinil ‘alam (penyebab terbesar bagi diciptakanNya alam semesta) ini. Di antaranya:

Asy-Syarh 4: “Dan Kami tinggikan sebutan namamu bagimu (Muhammad).”

At-Taubah 128: “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul (Muhammad Saw) dari golongan kalian sendiri, berat dirasakan baginya apa yang kalian  tanggung dan penjaga bagi kalian bersama orang-orang mukmin, dan penuh kasih dan sayang.”

Al-Qalam 4: “Dan sungguh pada dirimu (Muhammad Saw) terdapat akhlak yang agung.”

An-Nisa’ 113: “Karunia Allah Swt yang dilimpahkan padamu (Muhammad Saw) sangat besar.”

Al-Ahzab 21: “Sungguh telah ada pada diri Rasul Saw untuk kalian suri teladan yang baik….”

Al-Ahzab 56: “Sesungguhnya Allah Swt dan para malaikatNya membacakan selawat (keselamatan) kepada Nabi Muhammad Saw, wahai orang-orang yang beriman ucapkanlah selawat dan salam kepadanya…..”

Pengutusan Rasul Saw ke dunia ini tiada lain dikatakan oleh al-Qur’an sebagai “wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin, dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta ini.” Dan, Rasul Saw mengatakan, “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Riwayat-riwayat perihal keluhungan akhlak Rasul Saw amatlah berjibun untuk kita baca dan kutip. Semua itu meliputi bukan hanya kepada keluarganya, para sahabatnya, tetapi pula termasuk orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya, dan bahkan orang-orang yang memusuhinya sekeras apa pun. Semua itu memperlihatkan kelapangan dadanya, keluasan tak terbatas sabarnya, kerendahan hatinya, dan agungnya welas asih pada jiwanya.

Seorang musuhnya yang hendak membunuhnya, bernama Umair bin Wahab, bagian dari kafir Quraisy, mendatangi Madinah dengan penuh dendam karena anaknya ditawan oleh pasukan Islam dalam perang Badar. Ia hendak melakukan tipu muslihat dengan pura-pura membicarakan tebusan tawanan perang.

Ketika tiba di sekitar masjid Nabi Saw, ia diamankan oleh Umar bin Khattab, lalu dihadapkan kepada Rasul Saw dan ditanyakan, “Mengapa kamu datang ke sini?”

Umair menjawab, “Aku datang ke sini hendak meminta pembebasan seorang tawanan perang.”

“Benarkah tujuanmu ke sini hanya untuk itu?”

Umair menjawab, “Benar. Tujuanku ke sini hanya untuk pembebasan seorang tawanan perang.”

Rasul Saw lalu berkata, “Bukankah kamu dan Shafwan bin Umayyah duduk di Hijr. Kalian berdua membicarakan tentang korban perang, dan kamu berkata, ‘Jika aku tidak mempunyai agama dan keluarga, niscaya aku akan keluar untuk membunuh Muhammad.’ Lalu Shafwan bin Umayyah menanggung agama dan keluargamu agar kamu dapat membunuhku. Hanya Allah Swt yang bisa mencegahmu dari hal itu.”

Betapa kagetnya Umair mengetahui Rasul Saw ternyata telah tahu tujuan aslinya, termasuk obrolannya dengan Shafwan bin Umayyah, untuk membunuh Nabi Saw. Seketika Umair bersyahadat dan masuk Islam. Rasul Saw pun memaafkannya seketika. Tanpa syarat.

Bayangkan, orang yang jelas-jelas berniat keji untuk membunuhnya, dimaafkan, diterima syahadatnya. Bayangkan! Betapa Rasul Saw tak pernah menutup pintu bagi siapa pun yang memasuki rumah agamanya, dalam sebab dan kondisi apa pun. Apakah kita kini telah bersikap selalu begitu pula kepada orang lain?

Ada riwayat lain perihal marahnya Rasul Saw pada cucu angkatnya sendiri, Usamah bin Zaid.

Dalam sebuah peperangan, seorang tentara musuh melarikan diri, lalu dikejar oleh Usamah dan seorang tentara Islam lainnya. Musuh itu pun terpojok. Tiba-tiba musuh itu mengucap kalimat tauhid.

Antara bingung dan waswas, Usamah tetap membunuh musuh tersebut. Ia khawatir itu hanya sebuah muslihat. Peristiwa itu kemudian diketahui oleh Rasul Saw.

Rasul bertanya kepada Usamah, “Mengapa kamu tetap membunuhnya padahal kamu telah mendengarnya membaca kalimat tauhid?”

Usamah menjawab, “Ya Rasul, ucapan itu pastilah hanya muslihatnya agar tak dibunuh karena ia terpaksa dan terdesak.”

Rasul Saw berkata, “Jika kepada ucapannya kamu tak percaya, apakah kamu hendak membelah dadanya untuk bisa mengetahui apakah di hatinya ada iman yang tulus atau tidak?” Kalimat ini diucapkan oleh Rasul Saw sampai tiga kali.

Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Rasul Saw berkata dengan nada tegas dan diulanginya sampai tiga kali pula, “Bagaimana kamu akan mempertanggung jawabkan kalimat tauhid itu di hadapan Allah Swt kelak?”

Betapa Rasul Saw sangat menyesalkan kejadian tersebut; betapa beliau Saw sangat melarang umatnya untuk mendahulukan prasangka terhadap isi hati orang lain. Betapa cukuplah buat kita jadikan pelajaran bahwa ucapan seseorang adalah kebenaran, soal kehakikatnnya di dalam hati biarlah menjadi urusannya dengan Allah Swt Yang Maha Mengetahui.

Riwayat lain mengisahkan tatkala Rasul Saw pergi ke Thaif bersama anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Ini sering disebut sebagai hijrah pertama Rasul Saw, sebelum ke Yatsrib (Madinah). Tekanan keras dan brutal kaum kafir Quraisy mendorong Rasul untuk pergi ke Thaif dengan harapan mendapat perlakuan yang lebih baik dari masyarakat dan pemimpin Thaif.

Sayangnya, justru perbuatan sangat buruk yang diterima Rasul Saw. Mereka diusir dari Thaif, bahkan di tengah jalan diserang dengan lemparan batu-batu. Tubuh Rasul Saw sampai memar-memar begitu rupa, begitupun tubuh Zaid yang berusaha melindungi Rasul Saw.

Malaikat Jibril sampai menawarkan balasan kepada Rasul Saw hendak mengangkat sebuah gunung dan dilemparkan kepada kaum Thaif yang telah berbuat jahat tersebut. Tapi Rasul Saw mencegahnya dan berkata, “Jangan. Kalaupun mereka tidak beriman kepadaku sekarang, semoga dari anak-anak cucunya kelak ada yang beriman kepadaku.”

Ada riwayat lain lagi tentang tiga orang yang mencari-cari informasi perihal bagaimana Rasul Sasw beribadah. Mereka mencari tahu ke banyak orang, termasuk kepada Aisyah Ra. Kemudian mereka berjumpa dengan Rasul Saw dan berkatalah orang pertama: “Aku salat sepanjang malam dan tidak tidur.” Orang kedua berkata, “Aku berpuasa di siang hari setiap hari.” Orang ketiga berkata, “Aku beribadah sepenuh waktu dan tidak menikah agar ibadahku tak terganggu.” Jangan-jangan, Anda yang telah berusia matang dan tak kunjung menikah sedang mengikuti tuturan orang ketiga ini, ya.

Rasul Saw lalu berkata kepada mereka, “Aku inilah utusan Allah Swt. Adakah orang yang lebih tinggi imannya kepada Allah Swt? Tetapi aku bangun malam, salat, dan juga tidur. Aku juga berpuasa, tetapi juga tidak berpuasa. Dan aku juga menikah.”

Riwayat lain menyebutkan bahwa Rasul Saw bersabda, “Yassiru wala tu’ashshiru wa basysyiru wala tunaffiru, mudahkanlah dan jangan persulit dan berilah kabar gembira dan jangan berikan kabar yang menakutkan.”

Kini, buat permenungan kita, kiranya segala riwayat terkait keluhungan Rasul Saw sejenis itu cukup untuk membuat kita memahami dan meyakini betapa Rasul Saw yang amat mencintai kita semua, mengangkat kita sebagai saudara-sudaranya, dan menjanjikan syafaatnya kelak di yaumul hisab, semata mencontohkan kepada kita untuk membalas perbuatan buruk dengan kebaikan (hal jaza-ul ihsan illal ihsan, apakah balasan kebaikan kecuali kebaikan); mengutamakan positive thinking kepada siapa pun; memaafkan dengan sepenuh hati memaafkan; bersabar dengan sepenuh bersabar yang tiada batasnya; tak pernah menutup pintu bagi karunia, rahmat, dan hidayah Allah Swt; dan semua itu mencerminkan sifat welas asih dan kasih sayang maha samudra kepada semua orang, semua makhluk Allah Swt.

Cinta Rasul Saw kepada kita semua merentang lebar dan dalam hingga kepada pengertiannya yang manusiawi sekali terkait betapa terbatasnya kemampuan kita dalam beribadah kepadaNya. Rasul Saw sengaja tidak menjadikan salat Tarawih dilakukan setiap malam dan berjamaah agar tak disimpulkan oleh umatnya sebagai wajib. Tentu saja, Rasul Saw sangat bisa untuk beribadah sepanjang malam, berpuasa sepanjang hari, dan melakukan segala kedahsyatan amal ibadah seagung-agungnya. Tetapi, Rasul Saw dalam keteladanan yang sangat manusiawi buat kita tidak melakukan semua itu, tak menjadikan itu standar baku yang dikhawatirkan akan membuat kita keberatan dan kesuitan dalam berislam.

Rasul Saw juga tak pernah memandang rendah kepada orang yang beribadah ala kadarnya. Sedekah yang diberikan oleh seorang sahabatnya yang jenaka, Nu’man bin Amar, berupa madu yang itu pun dibayar oleh Rasul Saw sendiri karena Nu’man tak memiliki  uang, juga diterimanya dengan apresiasi yang sangat menyenangkan hati.

Rasul Saw tak memandang picik pada orang yang memberikan hadiah anggur kecut kepadanya. Beliau Saw tetap memakan anggur itu dengan sirat wajah yang sangat senang agar hati pemberinya tak kecewa.

Rasul Saw juga terus memperlakukan baik seorang pengemis Yahudi buta yang mengatai-ngatainya dengan buruk, dengan memberikan suapan-suapan makanan setiap hari kepadanya. Rasul Saw tak membalas cemoohnya, apalagi menghukumnya. Tidak. Padahal beliau Saw sangat mampu melakukan hal sebaliknya.

Rasul Saw juga membiarkan seorang Baduwi yang pipis begitu saja di pojok masjidnya dengan mengatakan, “Biarkan saja, ia hanya tidak tahu.” Ketika orang asing tersebut selesai pipis, Rasul Saw menyuruh sahabat menyirami bebas pipis itu dan berkata kepada orang asing itu, “Jangan lagi pipis di masjid, masjid adalah rumah Allah Swt untuk beribadah.”

Mari kita jadikan permenungan mendalam di dalam sanubari kita masing-masing semua paparan tersebut. Betapa kasih sayang Rasul Saw kepada semua umatnya, dalam segala keterbatasan dan kelemahannya masing-masing, mengapresiakan semata kebaikan-kebaikan dalam kondisinya masing-masing. Tidak ada sikap Rasul Saw yang menyalah-nyalahkan, mengatai-ngatai, menjelek-jelekken, dan merendah-rendahkan orang lain, walau tak sesuai dengan risalahnya. Selalu pendekatan cinta, kasih sayang, pengertian, kesabaran, dan kemanusiaan yang  mendalam yang dipentaskannya.

Inilah yang dimaksud “wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin, dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta ini.” dan “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Mari renungkan lagi, lagi, dan lagi: sudahkah kita benar-benar selalu mengedepankan watak-watak akhlak karimah cum rahmatan lil ‘alamin kepada siapa pun, mau sejalan atau berbeda dengan paham, mazhab, aliran, dan amalan kita? Sudahkah kita selalu memandang dan menempatkan manusia dalam segala keadaannya, lahir dan batin, sebagai murni manusia makhuk ciptaan Allah Swt yang sama-sama berperasaan dan berpotensi mulia di sisiNya? Sudahkah kita senantiasa meletakkan prinsip bahwa Allah Swt semata lah yang Maha Memberi hidayah, rahmat, taufik, dan bimbingan kepada siapa pun dikehendakiNya, bukanlah khutbah-khutbah kita, apalagi pekik-pekik kita, mau seheroik apa pun kita menamakannya amar ma’ruf nahi munkar?

Telah dikatakan dalam al-Qur’an, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah Swt, maka ikutilah aku (Rasul Saw), niscaya Allah Swt akan mencintai kalian….”

Mari ikuti akhlak karimah Rasul Saw.

Mari tinggalkan segala sikap buruk atas nama apa pun yang pastilah tak sesuai dengan teladannya Saw.

Mari selalu menjadi manusia, dengan selalu memuliakan manusia semuanya.

Mari pulangkan segala perbedaan antarkita semata kepada keputusanNya Swt.

Semoga Allah Swt selalu menolong kita dan semoga Rasul Saw menghamparkan syafatanya kepada kita semua dengan ijinNya Swt.

Amin ya rabbal ‘alamin.

Wallahu a’lam bish shawab.


*) Oleh Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY