Peran Agama dalam Mengontrol Tubuh Manusia

 
Peran Agama dalam Mengontrol Tubuh Manusia

Sebelum ngomong soal ideologi, saya benar-benar ingin tahu, bukankah kita akan lebih materialis lagi seandainya tubuh dan dampak kekuasaan terhadapnyalah yang pertama kali kita kaji. (Michel Foucault, Power/Knowladge, 1980)

Ungkapan Faucault ini menarik untuk kita kaji dan refleksikan kembali dalam konteks agama dan masyarakat. Esensi agama yang menjadi inti dari proses penghambaan dalam kehidupan sehari-hari kita tentu membutuhkan kajian-kajian kembali. Masalah-masalah semacam kejahatan, amoral-asusila, dan kekerasan yang belakangan ini sering diberitakan (khususnya dalam kasus kekerasan seksual anak usia dini) merupakan persoalan yang juga menyangkut masalah agama, khususnya dalam lingkup lembaga sosial terkecil seperti keluarga.

Asumsi dasar dari persoalan tersebut di atas perlu memperhitungkan tentang kaitan antara agama dan dimensi kepentingan tubuh manusia dalam kehidupan masyarakat. Bryan S. Turner (1991) dalam Religion and Social Theory pernah menekankan bahwa dalam sistem religius, tubuh adalah penyampai kemahasucian ilahi sekaligus juga simbol dari kejahatan. Tubuh manusia di mana kepentingan ada merupakan tempat jiwa belajar dan sekaligus merupakan penghalang keselamatan (salvation). Kesehatan jasmani seseorang dan keselamatan dari tindakan destruktif itu saling terkait. Begitupun dengan jasmani yang sakit bisa juga menjadi pertanda cobaan religius atau malah bukti laknat yang menimpanya.

Durkheim (1961) menyatakan agama (religio) berarti ikatan relasi-relasi sosial antar individu. Sebagai ikatan dari relasi sosial, kita harus memandang agama sebagai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral yang menciptakan ikatan sosial antar individu. Oleh karena itu, prilaku-prilaku yang dimotivasi faktor-faktor religius atau magis merupakan fungsi sosial agama yang terjadi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan dalam ranah struktur kehidupan sosial.

Dari beberapa pernyataan tersebut di atas, hal penting yang harus dipertanyakan adalah, bagaimanakah esensi agama di tengah persoalan yang terjadi? Apakah agama yang selama ini dianut oleh masyarakat tidak memiliki fungsi sama sekali sehingga masih banyak persoalan yang didera?

Dalam hal ini penting mengingat apa yang pernah dijelaskan Turner mengenai masalah Hobbesian tentang kejasmaniahan manusia (human corporality) bahwa agama sangat penting diperhatikan ketika membicarakan persoalan reproduksi dan regulasi tubuh-tubuh manusia dalam konteks sosial. Persoalan Hobessian tentang tatanan korporal sebagai permasalahan pengaturan tubuh manusia ini bisa disusun ke dalam empat kategori: pengekangan, representasi, registrasi, dan reproduksi. Dengan begitu, “religion” yang secara etimologis berasal dari religio (jaminan atau surat bukti) juga berkaitan dengan regulare (mengatur) dan ritus (upacara). Sehingga, dalam konteks ini, agama seyogyanya harus dipandang sebagai suatu sistem jaminan dan ikatan di mana tubuh manusia diatur dan disiplinkan.

Agama dan Seksualitas

Dalam beberapa kajian mengenai Sociology of Religion, Weber (1971) pernah menyatakan bahwa masalah yang paling pelik adalah mengenai dorongan seksualitas ketika dikaitkan dengan penyelamatan (salvation) karena merupakan puncak nafsu manusia. Sehingga, agamalah yang menjadi pusat perhatian penting dalam hal pengekangan asketis terhadap seksualitas dan kehidupan instingtual manusia. Membicarakan masalah kontrol sosial agama terhadap tubuh manusia, menarik mengutip ungkapan Foucault (1981) dalam The History of Sexuality bahwa, cikal-bakal seksualitas dalam masyarakat adalah hasil dari “ledakan diskursif” sakramen pengakuan dosa summa Katholik pada abad ke-17. Foucault menulis:

Salah satu bentuk paling asli kesadaran kelas adalah afirmasi tubuh; setidaknya, inilah yang terjadi di kalangan borjuis abad ke-18. Kesadaran ini merubah darah birunya para bangsawan menjadi organisme penuh misteri dan semata persoalan seks yang sehat...Konflik menjadi hal yang penting (khususnya konflik yang terjadi di ruang urban: peniruan adat istiadat, penyesuaian, kontaminasi, wabah penyakit, seperti wabah kolera yang terjadi di tahun 1832, atau prostitusi dan penyakit kelamin).”. Sejak saat itu, diskursus tubuh manusia dan seksualitas memunculkan pengawasan dan kontrol ketat terhadap nafsu yang meledak-ledak agar bisa diarahkan kepada fungsi yang produktif.

Kontrol agama tentang seksualitas telah ditetapkan seperangkat aturan orangtua kepada anaknya atau aturan pria dengan wanita dalam menjaga dan mengontrol tubuhnya. Misal, ritus pernikahan (munakahah dalam Islam) merupakan aturan agama tentang seksualitas dan kehidupan keluarga. Tujuannya adalah menjaga kondisi sosial tempat tubuh manusia berdiam agar tetap aman. Dalam kenyataan ini, doktrin dan aturan agama menjadi kontrol bagi kekuasaan tubuh manusia merealisasikan kepentingan reproduksi biologis.

Konteks Manusia Modern

Peran agama dalam konteks manusia modern saat ini telah “menggabungkan diri” ke dalam institusi-institusi birokratis demi mengontrol kebebasan tubuh manusia. Hubungan dan interaksi sosial masyarakat dicapai bukan melalui nilai-nilai yang berselubung religius, melainkan lewat klasifikasi, tipologi dan kategori pengawasan birokratis secama undang-undang Negara, norma masyarakat, dan peran lembaga-lembaga agama.

Dengan demikian, fungsi agama atau—meminjam bahasanya Foucault--“ideologi”, terletak pada kesaling-tergantungan antara pengalaman hidup manusia dengan budaya untuk membentuk sifat tubuh manusia dalam masyarakat. Kontrol sosial agama terhadap kekuasaan tubuh yang menjelma menjadi hukum negara dan adat-istiadat setidaknya harus diperkuat dengan pengawasan, pengekangan bahkan juga pengebiran pada pelaku kekerasan seksual dalam rangka menghentikan praktik destruktif semacam asusila, amoral, kriminal, dan kejahatan-kejahatan lainnya.

 


*) Roby Muhammad, Penulis dan Peneliti, Alumni FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya.