Khutbah Jumat: Memahami Kontroversi Vaksin Corona dengan Pendekatan Literasi Islam

 
Khutbah Jumat: Memahami Kontroversi Vaksin Corona dengan Pendekatan Literasi Islam

Khutbah Pertama:

إِنّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَه

أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ نِعْمَ الْوَكِيل وَنِعْمَ الْمَوْلَى، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَ مَنْ يُنْكِرْهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا. وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَ حَبِيْبِنَا الْمُصْطَفَى، مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الْهُدَى، الَّذِيْ لاَ يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى، وَ عَلَى اَلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدقِ وَ الْوَفَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَنْ اِتَّبَعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْجَزَا. أَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ  إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Berangkat dari atas mimbar ini khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada kita semua, untuk senantiasa berupaya senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban dengan segenap keteguhan hati dan kemantapan jiwa, dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan dengan penuh ketabahan dan kesabaran.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Belakangan ini terjadi kontroversi masalah vaksin yang berasal dari babi. MUI sudah memberikan fatwa dalam hal ini. Fatwa MUI tersebut diketahui mendapat banyak pertanyaan mengenai argumentasi fatwa yang membolehkan vaksin berasal dari kandungan babi tersebut karena darurat.

Baca juga: Hukum Main HP Saat Khutbah Jumat

Dari atas mimbar ini, izinkan khatib menjelask tiga teori yang biasa dibahas dalam literatur keislaman agar kita bisa lebih mudah memahami kontroversi berkenaan dengan babi atau hal haram lainnya.

Pertama Teori Istihalah.

Fiqih klasik mengenal apa yang disebut dengan istihalah, yaitu perubahan hukum suatu hal ke hal lain. Dalam kitab standar mazhab Hanafi, Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr, disebutkan contoh ekstrem dari aplikasi istihâlah: Bahwa menurut Ibn Abidin, apabila babi tenggelam di laut dan setelah itu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam maka garamnya halal.

Begitu pula sesuatu yang najis, jika sudah menjadi abu, tidak dikatakan najis lagi. Garam tidak dikatakan najis lagi, walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi, atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah.

Contoh ekstrem, kotoran sapi yang sudah berubah menjadi tanah liat dan dipakai sebagai bahan batako dinding masjid hukumnya boleh dan tidak najis. Sewaktu masih kotoran sapi berlaku hukum kotoran sapi. Berubah menjadi tanah liat, maka berubah pula hukumnya.

Khamar itu jelas dihukumi haram. Akan tetapi, kalau khamar didiamkan saja selama beberapa waktu, kemudian berubah menjadi cuka, berubah pula status hukumnya karena zatnya sudah berubah pula. Anggur itu halal, tetapi ketika perasan anggur diolah menjadi khamar maka hukumnya haram, dan begitu pula ketika terjadi perubahan berikutnya, saat khamar telah menjadi cuka maka hukumnya pun berubah menjadi halal.

Baca juga: Hari Jumat Momentum Memperbanyak Shalawat

Mazhab Hanafi menggunakan teori istihâlah ini secara mutlak, sedangkan mazhab Syafi‘i lebih berhati-hati. Menurut penjelasan kitab Syarh Al-Muhadzdzab oleh Imam Nawawi, kalau perubahan zat itu melalui proses alami, tanpa melibatkan unsur manusia dan bahan kimiawi lain, teori istihâlah bisa diterapkan. Akan tetapi, kalau perubahan zat itu terjadi karena unsur rekayasa kimiawi dan teknologi pangan, teori istihâlah tidak berlaku dalam mazhab Syafi’i.

Sebagai contoh: Kalau perubahan khamar ke cuka melalui proses alami, mazhab Hanafi dan Syafi’i sepakat istihâlah bisa diterapkan. Akan tetapi, kalau khamar menjadi cuka melalui proses rekayasa dengan ditambahkan cairan ataupun melalui proses kimiawi lain maka cuka tersebut tetap menjadi haram.

Lalu bagaimana soal lemak babi yang kemudian diproses menjadi gelatin misalnya? Mazhab Hanafi mengaplikasikan teori istihâlah dan menganggap telah terjadi perubahan dari lemak babi menjadi gelatin. Adapun mazhab Syafi‘i akan mengharamkannya karena proses perubahan itu tidak terjadi secara alamiah, tetapi melalui proses bantuan teknologi.

Yang menarik penjelasan Imam Daud Al-Zhahiri, seperti dipaparkan dalam Tafsir Al-Mawardi, yang diharamkan itu cuma daging babinya, karena secara literal Al-Quran menggunakan frasa “lahmal khinzîr” (daging babi). Itu artinya, Al-Quran seolah-olah mengisyaratkan selain dagingnya babi tidak diharamkan. Memang ini pendapat kontroversial, karena menurut mayoritas ulama, disebut dagingnya saja bukan berarti selain dagingnya menjadi halal. Tetapi, paling tidak kita mencoba untuk bersikap jujur secara ilmiah, betapa ada pandangan lain soal lahmal khinzîr ini, seperti terekam dalam kitab klasik.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Kedua pendekatan teori Istihlak.

Dalam Fiqh juga mengenal teori istihlak. Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lain yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna, maupun baunya.

Ada dua hadis yang menjadi dasar teori istihlak ini. Hadis pertama, ‘Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya’ (HR Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ahmad). Hadis kedua, ‘Jika air telah mencapai dua kulah, tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)’ (HR Daruqutni dan Al-Darimi).

Berdasarkan kedua hadis di atas para ulama menjelaskan bahwa suatu benda najis atau haram yang bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka ia menjadi suci. Jadi, dalam kondisi tertentu air yang najis bisa berubah menjadi suci apabila bercampur dengan air suci yang banyak.

Baca juga: Tidak Jumatan di Zona Merah Mengurangi Syariat Islam?

Dari Hadis inilah berlaku aplikasi istihlak: Ketika khamar atau alkohol dimasukkan dalam suatu materi, lalu dimasukkan ke dalamnya berbagai materi yang lain sehingga sifat khamar yang memabukkan itu hilang dan tidak bersisa sama sekali, maka materi tersebut dianggap berstatus halal.

Selain contoh air dua kullah (dimana kotoran kecil menjadi tidak najis karena sudah bercampur dengan air yang jumlahnya lebih banyak), contoh lain soal penggunaan enzim babi dalam vaksin. Kalau ternyata jumlahnya sedikit dan dalam hasil akhir tidak lagi terdeteksi, maka bisa jadi vaksin itu dinyatakan halal melalui teori istihlak ini.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Ketiga adalah teori darurat.

Kalau kedua teori di atas (istihalah dan istihlak) tidak mau kita terima, maka ada satu teori tersisa yaitu teori darurat.

Dasarnya adalah ayat di bawah ini:

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah daging babi & binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal ia tidak menginginkannya & tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa.”(QS.Al-Baqarah:173).

Pakar Ushul al-Fiqh, Abu Zahrah mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk mengomsumsi sesuatu yang telah dilarang namun dilakukan juga dalam rangka mempertahankan nyawa, atau khawatir akan kehilangan harta atau karena kebutuhan daruri (pokok) seseorang terancam jika dia tidak mempertahankannya kecuali dengan melakukan sesuatu yang dilarang tanpa mengganggu hak orang lain.

Imam Suyuthi menyebutkan kaidah fiqh ini dalam kitabnya al-Asybah wan Nazhair:

الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ

‘Kondisi darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang”

Harus digarisbawahi bahwa dalam menggunakan teori darurat ini hukum asalnya adalah haram. Namun hukum haram tersebut bisa berubah menjadi halal atau mubah dalam kondisi darurat. Ulama mazhab Syafi’i sepakat bahwa kondisi darurat itu tidak harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena menjelang sakratul maut tidak ada gunanya lagi makan.

Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan yang diharamkan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya. Atau kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian.

Salah satu ukuran darurat itu bisa melalui pertimbangan medis, atau para ahli dari pakarnya. Disamping itu, yang namanya darurat haruslah bersifat temporer atau sementara. Bila kondisi kembali ke normal, maka berlaku kembali hukum asal, yaitu haram. Imam Suyuthi menyebutkan kaidah berikutnya:

مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

Hal lain yang harus diperhatikan, melakukan tindakan dalam kondisi darurat itu hanya sekadarnya saja, tidak berlebihan. Karena kalau sudah berlebih, maka tidak lagi dianggap sekadar memenuhi kondisi keterpaksaan.

Contoh praktis: anda tersedak makanan di kerongkongan dan di samping anda hanya ada khamr, maka anda minum khamr sekadar untuk melancarkan kerongkongan yang tersangkut makanan. Atau anda berada di tengah hutan dan berhari-hari tidak makan, lantas anda menemui babi atau bangkai, maka sekadar untuk mempertahankan hidup, anda boleh mengonsumsinya.

Contoh yang sedang ramai diperbincangkan: kalau anda tidak menggunakan vaksin yang berasal dari babi maka anda bukan saja membahayakan hidup anda tapi juga hidup orang lan yang berinteraksi dengan anda, maka selama belum tersedia jenis vaksin lain, penggunaan vaksin dari enzim babi dibenarkan dalam kondisi darurat, sesuai dengan penjelasan di atas.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah kedua:

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

 عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

-----------------------------------------------------
*Artikel ini disunting oleh Ustadz Syarifudin Cahyono
 Sekjend PCNU Jakarta Timur