Karakter Pesantren Dalam Pandangan KH. Husein Muhammad (3)

 
Karakter Pesantren Dalam Pandangan KH. Husein Muhammad (3)

LADUNI.ID, Jakarta - Pandangan-pandangan keagamaan Islam pesantren memiliki akar ajaran teologisnya. Yakni paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Aswaja) aqadiyan wa manhajan. Ia adalah paham keagamaan yang menjunjung tinggi asas-asas moderasi dalam cara berpikir, bertindak dan bersikap. Ia adalah al-Tawâsuth (moderat), al-Tawâzun (keseimbangan) dan al-Tasâmuh (toleran). Dengan basis ini, pesantren dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan dari manapun datangnya, tetapi juga tetap menghargai pemahaman keagamaan konservatif sepanjang memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan mereka.

Jargon yang sangat terkenal di pesantren menyebutkan : Al-Muhafazhah 'ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdz bi al- Jadid al-Adhlah", menjaga tradisi/pandangan lama yang baik, dan mengambil pandsngan baru yang lebih baik.

Paham Aswaja yang menjadi anutan pesantren inilah yang dapat memberikan jawaban secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada Pesantren dan lebih jauh Islam. Aswaja pesantren tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan, bahkan juga terhadap mereka yang berbeda agamanya.

Aswaja ala pesantren juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam berdakwah.

Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”,  melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik). Pesantren tidak melakukan Nahi Munkar" dengan cara-cara mungkar. Karena hal ini bertentangan dengan prinsip Islam.

Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan bersama masyarakat bangsa. Demikianlah, maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun pembunuhan karakter. Dengan ungkapan lain, mereka yang menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama, meski dengan mengatasnamakan agama atau umat Islam bukan bagian dari masyarakat Aswaja dan Pesantren. Kita harus waspadai klaim-klaim mereka.

Apa yang dimiliki dan harus dijaga atau dirawat oleh Pesantren?

Ini adalah pertanyaan yang menarik sekaligus menukik. Ia seperti menyimpan kegelisahan panjang yang ingin dijawab segera, tentang peran dan sumbangan pesantren kini dan mendatang bagi negeri ini. Aku mencoba menawarkan gagasan saja. Boleh jadi tak juga memuaskan.

Pada awal adanya, pesantren dimaksudkan sebagai institusi sosial  dengan visi-misi profetik  (cita-cita kenabian). Cita-cita ini tidak lain adalah cita-cita kemanusiaan. Ia adalah “memutus mata rantai penindasan manusia atas manusia, membebaskan manusia dari struktur social yang tiranik yang membodohi dan memarginalkan mereka, mengajarkan pengetahuan dan menegakkan keadilan”. Visi ini diungkapkan secara eksplisit oleh al-Qur’an :

الَر كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.

Ketika saya belajar di Pesantren, Kiai mengatakan : “Belajar dan mengaji itu untuk menghilangkan kebodohan”. Kalimat ini tampak amat sederhana memang, tetapi ia amat mendasar, prinsipal. Kebodohan adalah kegelapan. Permusuhan lebih sering terjadi akibat dari kebodohan atau ketidakmengertian. Jadi kebodohan (al-zhalam) berpotensi melahirkan kezaliman (al-zhulm). Sebuah pepatah mengatakan: "Al-Insan A'da- u ma Jahilu", manusia itu memusuhi orang lain karena mereka bodoh.

Manakala Nabi di Thaif dilukai oleh orang-orang lafir Quraisy, beliau berdoa :

اللهم اهد قومی فانهم لا يعلمون

"Ya Allah tunjukilah (berilah pengetahuan) kaumku itu, karena mereka tidak tahu"