Ini Tanda-Tanda Takwa Menurut Gus Mus

 
Ini Tanda-Tanda Takwa Menurut Gus Mus

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam buku Fikih Keseharian Gus Mus, ada seorang yang bertanya mengenai, apakah yang menjadi tanda-tanda orang yang bertakwa? Pertanyaan ini diungkapkan oleh seorang bapak yang beralamat di Jl. Diponegoro 47 Parakan. Berikut penjelasan KH Mustofa Bisri.

***

Tanda orang yang bertakwa itu antara lain:

  • Beriman kepada yang gaib, yang tak terindra seperti iman terhadap adanya Allah, para malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka, dan sebagainya. (Dan ini tampak dari sikap perbuatan yang sesuai dengan tututan iman tersebut);
  • ajeg (rutin) dalam mengerjakan salat;
  • Mau menafkahkan sebagian hartanya (berzakat), bersedekah dan sebagainya;
  • Beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan kitab-kitab Allah lainnya yang diturunkan kepada para utusan sebelum Nabi Muhammad Saw;
  • Yakin terhadap hari Kemudian;
  • Menyantuni anak yatim dan kaum lemah;
  • Bila berjanji selalu menepati;
  • Bersyukur bila mendapat kenikmatan dan bersabar bila mendapat cobaan.

Seperti dalam Al-Quran surah 2, Al-Baqarah: 1-4:

الۤمّۤ ۚ (١) ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ (٢) الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ (٣) وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ (٤)

Artinya: “Alif laam miim.[1] Kitab[2] (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertakwa.[3] (Yaitu) mereka yang beriman[4] kepada yang gaib[5], yang mendirikan salat[6], dan menafkahkan sébagian rezeki[7] yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu[8], serta mereka yakin akan adarya (kehidupan) akhirat[9].”

Al-Quran surah 2, Al-Bagarah: 177:

۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ (١٧٧)

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Wallaahu A lam bishshawaab.

 

[1] Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al-Quran seperti: alif laam miim, alif laam raa, alif laam miim shaad dan sebagainya. Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al-Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al-Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. Kalau mereka tidak percaya bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad SAW semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.

[2] Tuhan menamakan Al-Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al-Quran diperintahkan untuk ditulis.

[3] Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.

[4] Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

[5] Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. Percaya kepada yang ghjaib yaitu, meng-itikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-Malaikat, Hari akhirat dan sebagainya.

[6] Shalat menurut bahasa Arab: doa. Menurut istilah syara ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. Mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.

[7] Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. Menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyariatkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.

[8] Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Muhammad SAW ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al-Quran seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut dalam Al-Quran yang diturunkan kepada para Rasul. Allah menurunkan Kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Jibril a.s., lalu Jibril menyampaikannya kepada Rasul.

[9] Yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun. Akhirat lawan dunia. Kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. Yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir.


Sumber: KH Mustofa Bisri. Fikih Keseharian Gus Mus. Surabaya: Khalista, 2005.