Khutbah Jum’at: Islam Mengajarkan Cinta Bukan Permusuhan

 
Khutbah Jum’at: Islam Mengajarkan Cinta Bukan Permusuhan

Khutbah Pertama:

اَلْحَمْدُ للهِ الًّذِى خَلَقَ الْاِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمِ وَالّذِيْ هَدَانَا لِطَرِيْقِهِ الْقَوِيْمِ وَفَقَّهَنَا فِي دِيْنِهِ الْمُسْتَقِيْمِ. أَشْهَدُ أَنْ لآاِلهَ إِلّاَ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً تُوْصِلُنَا إِلَى جَنَّاتِ النَّعِيْمِ وَتَكُوْنُ سَبَبًا لِلنَّظَرِ لِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ. وأَشْهَدُ أَنْ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ النَّبِىُ الرَّؤُفُ الرَّحِيْمُ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أُوْلِى الْفَضْلِ الْجَسِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم،  اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا . صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ       

Hadirin Jama’ah Jum’at Rahimakumullah.

Mengawali khutbah jumt’at ini, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita dengan menjalankan hal-hal yang menyebabkan kita mendapatkan pahala, yang mengantarkan keselamatan di dunia maupun selamat di akhirat, dan selain itu, marilah kita menghindari dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan kita mendapatkan dosa, yang mengantarkan kepada kesengsaraan di dunia maupun di akhirat.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Naluri alamiah dasar manusia adalah suka akan segala kebaikan dan benci terhadap kejahatan. Siapapun itu, agama apapun itu, dan di manapun kita berada. Akan menjadi tabu jika seseorang tidak bersedih karena melihat pembantaian manusia, ketidak tentraman suatu bangsa. Dan sebaliknya, akan sangat mengherankan kalau seseorang tidak senang mendapati suatu bangsa itu aman, damai, dan rukun. Ini semua tentang naluri. Naluri itu tidak bisa dibuat-buat dan tidak bisa dibohongi.

Baca juga: Khutbah Jum’at: Optimisme dan Berbaik Sangka Kepada Allah dan Orang lain di tengah Musibah

Dalam perjalanannya, manusia dipengaruhi lingkungan. Terus menerus menjadi baik jika dimotivasi kebaikan sekitarnya. Boleh jadi berubah menjadi jahat jika dihadapkan sumpah serapah, ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya dan lain seterusnya. Akan tetapi naluri tadi, tetap tidak bisa tergantikan posisinya dalam menyuarakan suara-suara hati setiap insan. Mereka yang suka menipu baik pada pergaulan sosial maupun pada lingkungan politik sekalipun, dalam hati sebenarnya tidak menyetujui perbuatannya. Mungkin karena keterpaksaan, godaan, dan alasan lain perbuatan itu dilakukan. Tapi lagi-lagi, nuraninya tidak membenarkan itu.

Nurani tempat bersemayam kejujuran. Kejujuran tidak akan pernah luntur di sana, yang luntur hanyalah warnanya. Apa sebab ? Nurani tahu yang sesungguhnya, tapi akal kadang membelokkannya. Kebohongan pertama menuntut kebohongan kedua. Untuk menutupi kebohongan kedua, dibutuhkan kebohongan ketiga. Begitu seterusnya sampai lupa, bahwa nuraninya sudah dikhianati. Nah, amat boleh jadi ketika hal itu dilakukan sudah menciderai cinta.

Baca juga: Bagaimana Hukumnya Bila Tertinggal Shalat Jumat? Ini Penjelasan Gus Mus

Semua manusia yang berada di kolong langit sepakat, bahwa kemanusiaan adalah bagian dari manusia itu sendiri. Menghormatinya adalah menghormati manusia. Menginjak-injaknya berarti juga menginjak-injak manusia. Tak ayal, sejumlah tokoh agama, tokoh bangsa di Indonesia yang cinta akan kemanusiaan sangat getol mengkampanyekan kemanusiaan. Mengapa ? Karena mereka tahu bahwa puncak beragama adalah cinta dan kasih sayang.

Suatu contoh, ketika kita menolong seseorang yang terperosok ke lubang, kemanusiaan lah yang memanggil nurani kita. Tidak mungkin kita bertanya apa agama orang yang terperosok tadi sebelum kita ulurkan tangan. Justru ketika kita bertanya soal agamanya apa, itu berarti kita sedang menodai agama dan kita ridha atas itu. Membantu sesama dalam hal-hal di luar keimanan tidak ada kaitannya dengan keyakinan. Itu murni tolong menolong yang memang harus dan tidak mengenal “agamamu apa”.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Nabi Muhammad SAW adalah panutan kita, teladan kita dalam menjalani kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul peletak syariat sebagai panutan dalam kehidupan kita. Maka sudah sepantasnya kita mengikutinya supaya kita dicintai Allah SWT. Al-Qur’an menyebutkan:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ  وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imran [3]:31).

Jika kita mengaku mencintai Nabi Muhammad SAW tentulah kita tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengannya. Sebab Nabi Muhammad SAW tidak mengajarkan kejahatan, dihadapkan sumpah serapah, kebohongan, ujaran kebencian, hoaks, dan lain seterusnya. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW mengajarkan cinta dan kasih sayang terhadap semua mahkluk-Nya.

Seorang filsuf muslim tersohor, Syekh Muhyiddin bin Arobi dalam syairnya berkata: “Aku beragama dengan agama cinta. Ke mana pun bahteranya berlayar, cinta tetap menjadi agama dan imanku.”

Syekh Muhyiddin bin Arobi tersebut menyandarkan syairnya pada ayat diatas. Ia sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Itulah mengapa ia namakan agama Islam yang dipeluknya sebagai “Agama Cinta”, agar ia bisa menerima beban-beban taklif dengan sukarela dan penuh cinta, layaknya seorang pecinta yang menerima tugas dari kekasihnya.

“Ke mana pun kendaraannya mengarah,” baik kepada apa yang ia suka maupun tak suka, si pecinta akan tetap melaksanakan tugasnya tanpa kenal lelah.

Syari‘at adalah kendaraan menuju cinta, ke mana pun ia mengarah, pasti akan berlabuh ke haribaan Sang Maha Cinta. Demikianlah sejatinya syari‘at. Maka barangsiapa mengendarainya tetapi malah berakhir pada kebencian, berarti ia belum mengendarai syari‘at sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Ia pun mengatakan: “Syari‘at berawal dari cinta

dan berakhir pula dengan cinta.”

Sebagaimana syairnya:

ولا تقل في دين الحب وحدة الأديان، فإنما يشير دين الحب إلى دين رسوله

Janganlah kau berkata tentang agama cinta bahwa semua agama adalah sama, sesungguhnya agama cinta hanyalah menunjuk pada agama Rasul-Nya.

جاء الحبيب إلى المحبوب فصار محبوبا، ركبانا بالشريعة المثلى توصل إلى حبه

Sang pecinta datang kepada yang dicinta, lalu ia pun menjadi yang dicinta. Berkendarakan unta syari‘at nan utama yang akan mengantar pada cinta-Nya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Betapa syair ini ingin menggambarkan bahwa puncak sebuah ajaran adalah cinta. Ke mana pun kita melangkah, selama kita mengantongi cinta, pasti orang-orang baru yang kita temui akan menerima dengan baik. Jadi, wajar saja jika cinta kasih menjadi sulit dalam kehidupan. Sebab itu terletak di pucuk tertinggi dalam setiap ajaran, termasuk ajaran agama Islam.

Itu alasan mengapa Allah memperkenalkan dirinya dengan dua sifat utama, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahkan, cinta kasih-Nya jauh melampaui murka amarah-Nya. Dalam riwayat Imam Tirmidzi, Nabi Muhammad SAW bersabda:

 مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يَرْحَمُهُ اللَّهُ

“Allah tidak menyayangi seseorang yang tidak menyayangi orang lain.” (HR. Tirmidzi no. 1922)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Adakah yang lebih kasih sayang dari Nabi Muhammad ? Dikisahkan, ketika beliau membiarkan orang Arab badui yang kencing didalam masjid dan menahan para sahabat untuk menjegalnya sampai si Arab badui tadi menyelesaikan kencingnya.

Perlu diingat, cinta-kasih bukan hanya berlaku sesama manusia. Bahkan kepada seluruh makhluk-Nya. Dalam ajaran agama Islam, ada beberapa pesan cinta-kasih yang tertuang remang dalam sebuah syariat. Sebut saja, pada hal penyembelihan. Mengapa jagal dilarang menggunakan pisau atau golok yang tumpul ketika menyembelih ? Benar sekali, karena di sana Allah SWT ingin mengajarkan manusia akan cinta-kasih terhadap hewan. Semakin cepat nyawa hewan hilang, semakin sedikit rasa sakit yang dideritanya. Dan itu bisa dilakukan hanya dengan menggunakan pisau atau golok yang tajam.

Bukankah dalam satu riwayat, Sayyidina Umar diimpikan masuk surga karena satu amalnya, yaitu menebus dan melepaskan burung yang dibuat mainan oleh anak-anak sebab kasih sayang terhadap makhluk-Nya ? Begitu pula Imam Ghozali, ketika ditanya dalam mimpi, dengan apa Allah memasukkannya ke dalam surga ? Beliau menjawab, sebab membiarkan lalat minum ditempat tintanya sampai lalat tadi merasa cukup dan terbang dengan sendirinya, semata-mata karena cinta-kasih.

Pentingnya posisi cinta-kasih dalam kehidupan, membuat Sayyidah Robi’ah Adawiyyah pernah ditanya perihal cinta dan kebencian. Beliau menjawab, “Tidak ada ruang untuk membenci dalam hatiku, sebab cinta sudah mengambil setiap sisi yang ada”.

Pada konteks ini, Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya juga menegaskan apa arti cinta dalam hidup seseorang. Tegas, beliau memberikan warning bahwa seseorang tidak dianggap sempurna imannya selama belum mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13)

Hadits ini sangat jelas, bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai duta cinta dan kasih sayang untuk seluruh makhluk sejagad raya.  Apa artinya ? Cinta-kasih adalah barang mahal, sampai-sampai dijadikan standar untuk “iman yang sempurna”.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Tentulah hal demikian, tak didapat begitu saja tanpa melalui pengembaraan spiritual dan pengayaan intelektual yang benar-benar dilakukan. Cinta-kasih harus dilatih sejak dini. Mendahulukan untuk menyelamatkan semut yang tenggelam digenangan air lebih baik daripada mengejar shalat jama’ah. Begitu pula memberi makan orang yang kelaparan. Disisi lain memelihara kedamaian antar sesama manusia, antar umat beragama, antar suku, dan antar anak bangsa. Tidakmengikuti ajakan permusuhan, dan meniru tutur kata penuh aroma kebohongan, hoaks, perbuatan yang meresahkan antar sesama, mengadu domba, mengajak jihad ditengah bangsa yang damai, aman, dan rukun. Tindakan demikian bukanlah ajaran Islam, bukan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, mari bercinta-kasih terhadap apapun dan siapapun. Hadiah terbesar setelahnya adalah kita akan mengharap Allah SWT ridha dan senang dengan kita. Tanpa disadari, ketika itu kita sudah mengamalkan puncak sebuah ajaran, yaitu cinta-kasih.

بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah kedua:

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ،

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

________________________________________
Disunting oleh: Ustadz Syarif Cakhyono
Sekretaris PCNU Jakarta Timur