Gus Baha: Jangan Terbiasa Memvonis Orang

 
Gus Baha: Jangan Terbiasa Memvonis Orang

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam sebuah kesempatan, KH Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha menerangkan bahwa menjadi seorang yang beragama tidak diperkenankan biasa memvonis orang. Berikut ini adalah transkrip dari pengajian Gus Baha. Selamat membaca.

***

Karena itu saya mohon, yang mencintai saya, yang mengaji saya, jangan terbiasa memvonis-vonis. Kau kalau tidak cocok dengan orang, sudah misuh biasa saja: jancuk kakekane.  Yang penting tidak jadi bisul. Itu lebih ringanlah, daripada melabel-labeli ini kafir, ini... Nggak usah.

Kau kalau misuh itu kan sudah biasa: pertama kau nggak nabi saja, ya pantas saja. Nomor dua kita orang pesisir ya sudah biasa pisuhan. Itu kan kultur saja, bukan bukti benci.

Tapi kalau kau melabeli, itu terkait agama. Sekarang ini biasa melabeli orang: "bid'ah", "itu menentang Kanjeng Nabi".

Siapa sih yang menentang Kanjeng Nabi? Siapa? Orang tidak melakukan sunnah Nabi itu tidak berniat menentang Nabi. Ya memang begitu. Seperti kamu sekarang melanggar janji, apa itu lalu niat menentang Nabi? Kau tidak jenggotan, apa niat menentang Nabi? Kau nggak cingkrang berarti menentang Nabi? Tidak ada niat menentang. Ya nggak tahu saja.

Jadi jarang perilaku orang mukmin itu diniati menentang Nabi. Kalau salah ya salah saja, diakui.

رَبَّنَا ضَلَمْنَا أَنْفُسَنَا

Allah itu kalau mencipta pasti banyak gunanya. Ya sudah begitu. Lalu kau mau lebih suka sumur daripada WC? Ya tidak bisa. Sumur itu tempat bersih. Tapi kata kyai kuno: "angger ana sumur gedhe, ya gedhe pecerene." (tiap ada sumur besar, pasti besar pula pembuangannya).

Kalau ada sumur nggak ada saluran pembuangannya, lalu bagaimana kamu memakainya?

Tapi kalau sudah pembuangan itu wajib kau benci. Apa karena pembuangan itu ada hikmahnya lalu kau akan mandi air pembuangan? Ya nggak gitu. Tapi kalau ada sumur, jangan anti pembuangan. Mau kau buang ke mana air sisanya?

Jika kau ditanya: "Sumur bagaimana?" Suci.

"Pembuangan bagaimana?" Hukumnya najis. Masak akan tidur di situ?

"Kalau begitu, tidak usah ada barang najis!"

Apa lalu nggak usah ada pembuangan? Pembuangan juga penting. "Lalu bagaimana?"

Ya, nggak bagaimana-bagaimana. Mulai dulu ya seperti itu. Mengapa kau perberat? Sukanya kok bertanya hal yang tidak penting.

Kau bisa menjawab pertanyaan itu? Nah itu latihan hakekat. Kurang lebih perjalanan haq dan bathil itu seperti itu. Tapi kau hakekat terus ya gila. Ya biasa saja. Tidak usah kau perdalam lagi.

Makanya mazhab ahli Sunnah wal Jamaah itu begitu: Semua di dunia ini kehendak Allah. Kau tidak usah bertanya mengapa Allah membuat maksiat. Allah kok kau tanyai. Tidak usah kau tanyai. Kau kecangkeman itu sudah ngelunjak. Bertanya saja itu sudah ngelunjak. Allah kok dipertanyakan.

Oleh sebab itu Allah kadang ngendikan:

لَا يُسْـَٔلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْـَٔلُونَ

Contoh paling gampang begini. Saya menyampaikannya berkali-kali. Ini karena urusan iman ya. Sampeyan harus seperti saya dalam hal iman, karena ini yang ada sanadnya:

Saya punya rumah. Dengarkan ya. Saya punya rumah. Kemudian rumah itu saya desain ada ruang tamu, yang ada sofa, ada AC. Ibaratnya ada tahi cicak jatuh saja, akan saya bersihkan karena ini ruang tamu. Semua steril. Bagus.

Lalu di bagian belakamg rumah saya membangun MCK. Ada macam-macam. Berak di sana. Kencing di sana. Kalau ada baju kotor ya di sana. Bak di sana. Ya sudah. Nasib tanahnya ya mengeluh betul: Ya Allah. Sama-sama tanahnya, nasib tanah depan bagus. Nasib saya dipakai pembuangan kotoran, macam-macam.

Ok, itu yang punya saya. Lalu lama-kelamaan kamar tamu jadi sombong: Lebih mulia diriku, dibersihkan selalu oleh tuan rumah. Kau itu apa?

Lalu saya sebagai tuan rumah mengubah bangunan. Dulu rumah saya menghadap utara, saya bongkar menghadap selatan. Yang WC saya jadikan ruang tamu, yang ruang tamu saya jadikan WC. Apakah itu berarti saya zhalim, sedangkan itu rumah saya sendiri? Tidak. Jawab saja: saya dzalim nggak wong itu rumah milik saya sendiri? Tidak.

Nah, kira-kira seperti itu:

ٱللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ

Yang sholeh dijadikan zhalim di akhir hayatnya.

Oleh karena itu berhubung kita tidak menciptakan, kita hanya berharap saja husnul khatimah. Tapi tidak bisa menentukan. Itulah mengapa disuruh berdoa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Kau tidak bisa mengandalkan keshalihanmu. Keshalihanmu modal apa?

Karena itu, latihlah ikhlas. Saya mengajar ya mengajar saja. Kalau disuruh mengatur kalian tidak berani saya. Bisa saja kalian lebih mulia daripada saya. Meski tidak tahu ada kemungkinannya apa tidak, sudah pokoknya begitu. Untuk menjadi peringatan supaya saya tidak ujub, bisa saja kalian lebih afdhal daripada saya.

Ya begitu supaya tidak ujub. Sebenarnya di hati saya juga: Benar apa nggak itu? Pokoknya untuk menghilangkan ujub itu:

فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ

Orang tidak usah sok suci, sok bersih. Allah semata yang paling tahu mana yang paling taqwa.(*)

***

Source: Pengajian Gus Baha Tafsir Jalalain, hlm. 1908-1911 (Q.S. Luqman 27 – 34)
Editor: Muhammad Mihrob