Peradaban Nusantara: Pesan Kangjeng Sunan Ampel kepada Raden Patah

 
Peradaban Nusantara: Pesan Kangjeng Sunan Ampel kepada Raden Patah

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam sebuah postingannya, KH. Ahmad Baso menulis tentang peradaban Jawi-Nusantara yang ditemuinya di dalam dawuh Kangjeng Sunan Ampel Denta kepada Raden Patah. Dawuh ini berisi tentang pesan untuk membuka hutan glagah wangi, Bintara Demak. Selamat membaca.

Peradaban Jawi-Nusantara dalam Dawuh Kangjeng Sunan Ampel Denta kepada Raden Patah untuk buka hutan glagah wangi, Bintara, Demak  (percikan ngaji Historiografi Sunan Ampel Denta di UIN Sunan Ampel, Surabaya, 24 Februari 2021): Babad Cirebon (naskah pegon Br 36/PNRI) tentang konstruksi peradaban Nusantara.

[Mijil] Yata kesah Raden Patah nuli; amanggih ing gon; kang acukul gelagah wangine; caketan desa Bintara adi; ing kana akardi; panggenan satuhu. Malah ngadek Jum’ahe wus dadi; jum’ah hing wong; masyhur Pasantren Demak arane; lami-lami katah angungsi; umah-umah dadi; arja kadi datu.

(Dikisahkan Raden Patah mengikuti petunjuk gurunya [Sunan Ampel di Surabaya], untuk menuju ke arah barat, ke daerah tempat tumbuhnya pohon gelagah yang wangi. Setelah hutan itu dibabat, muncul kemudian satu perkampungan dan desa yang  diberi nama Desa Bintara. Di sana Raden Patah kemudian mendirikan Shalat Jumat bersama para jemaah di Hari Jumat. Sehingga daerah itu dikenal dengan nama Pesantren Demak. Banyak orang kemudian pindah ke sana, mendirikan rumah dan perkampungan baru. Lama-kelamaan menjadi sebuah kota yang ramai, lalu menjadi pusat kerajaaan atau kesultanan).

Babad Cirebon aksara pegon (kode Br 36 PNRI Jakarta), hal. 33-4. Naskah ini ditulis oleh Penghulu  Cirebon  bernama Haji Abdul  Qohar di abad 18 dari bahan-bahan abad sebelumnya, lalu disalin-ulang  oleh santri Cirebon bernama Muhammad Nur di abad 19. Lalu dilatinkan dalam J.L.A. Brandes (editor), Babad Tjerbon: Uitvoerige inhoudsopgave en noten (VBG vol. 59) (Batavia: Albrecht & Co., 1911), hal. 78.

Perhatikan  proses  sosial-historis-religius berdirinya Kesultanan Demak yang menggambarkan totalitas ke-Nusantara-an itu:

Pertama, itu dimulai dari babad alas atau membuka hutan Glagah Wangi untuk lahan pertanian dan pengairan. Ini merupakan tahap membangun basis ekonomi masyarakat. Artinya, bagi para ulama dan pendakwah Islam ini – sebelum membangun peradaban Indonesia – yang dipikirkan pertama-tama adalah bagaimana rakyat kita itu sejahtera dan terpenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papannya (tempat tinggal) terlebih dahulu.

Kedua, dari babad alas muncul perkampungan baru. Orang-orang kemudian mengungsi ke perkampungan baru tersebut, kemudian diberi nama Desa Bintara. Ini merupakan konstruksi basis sosial kemasyarakatan Islam Nusantara. Masyarakat yang dibangun itu berdasarkan semangat “berkampung” atau “jamaah”: yakni guyub, saling tolong-menolong, suka gotong-royong, dan musyawarah-mufakat dalam mengatasi masalah. Dari pembukaan lahan pertanian dan perkampungan ini, muncul pasar yang menggambarkan menyatunya kehidupan ekonomi dan komunitas guyub berkampung ini.

Ketiga, setelah berhimpun banyak rumah, perkampungan terbentuk, desa dan pasar dibangun, maka didirikanlah masjid pertama untuk Shalat Jumat. Sebelum masjid berdiri, masyarakat menunaikan ibadah sehari-hari di langgar. Setelah terpenuhi jumlah warga yang memungkinkan sahnya didirikan Shalat Jumat, barulah warga itu mendirikan masjid jami’. Dari sinilah kemudian masjid menjadi pusat peradaban perkampungan itu, sekaligus menjadi pusat kegiatan keislaman. Ini adalah konstruksi basis  religiusitas masyarakat Nusantara, dimana masjid jadi jangkarnya.

Keempat, setelah basis sosial dan keagamaan berdiri, anak-anak pun butuh pendidikan. Raden Patah kemudian membangun pesantren. Namanya Pesantren Demak. Ini merupakan rintisan membangun basis pendidikan dan pengajaran kebangsaan untuk penduduk Nusantara. Jadi dari sini bisa kita lihat nama Demak pertama-tama bukan nama untuk sebuah kerajaan, tapi nama pesantren!

Kelima, perkampungan itu makin ramai, lalu menjadi kota (arja). Sebutan kota atau arja waktu itu dipakai untuk menunjukkan posisi Demak sebagai titik penghubung lalu lintas pergerakan manusia dan juga sebagai salah satu jalur peradaban. Ini konstruksi kehidupan kosmopolit dan kebangsaan Nusantara.

Keenam, terakhir, baru kemudian kota Demak itu jadi datu, kerajaan atau kesultanan dengan Raden Patah sebagai raja pertama. Setelah itu para Wali Songo bangun Masjid Agung Demak di kota itu seperti kita kenal  kini.

Unsur-unsur ke-Jawi-an dari proses sejarah kemunculan Demak itu saling terkait satu sama lain. Semuanya tumbuh dan berkembang dari dalam kesatuan-totalitas ekonomi, sosial, kultural dan religius alam dan manusia-manusia Nusantara. 

Di sini politik tumbuh dari dalam masyarakat dan dilakoni oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari. Politik bukan cuma milik raja atau kaum elit kekuasaan. Politik adalah juga praktik kehidupan sehari-hari dalam mengatur kehidupan ruang privat, keluarga, dalam hubungan sosial-ekonomi hingga pengaturan hubungan negara dan warga untuk sebuah kemaslahatan. Ia bukan sesuatu yang soliter atau terpisah dari dinamika kehidupan lainnya. Ia adalah totalitas hidup ini. Kegiatan berpolitik sehari-hari itu kemudian direfleksikan dan dirasionalisasikan oleh para santri dan kiai menjadi bahasa konseptual ber-siyasah dalam kolektivitas dan kebersamaan, dalam level kenegaraan dan kemasyarakatan.

Dari totalitas inilah, politik menempati posisinya di sana, termasuk politik NU, dalam kesatuannya  dengan politik ke-Nusantara-an yang menyatu dan terintegrasi (kakullin, kawahdatin) dengan totalitas  sejarah dan masyarakatnya, totalitas ke-Nusantara-an ini, seperti dibahas dalam buku Historiografi Khittah dan Politik NU (sedang proses koreksi menuju cetak).(*)

***

Penulis: KH. Ahmad Baso
Editor: Muhammad Mihrob