Pesan Penting di Balik Kaidah At-Taṣġīr Lā Yuṣaġġar dan Al-Masyġūl Lā Yusyġal

 
Pesan Penting di Balik Kaidah At-Taṣġīr Lā Yuṣaġġar dan Al-Masyġūl Lā Yusyġal

LADUNI.ID, Jakarta - Menurut sebuah riwayat, Imam Al Farrā` An-Nahwī pernah mengatakan, "Siapa yang piawai dalam satu ilmu maka ilmu-ilmu lain akan mudah bagi dirinya." Atas pernyataan ini, Muhammad bin Al-Hasan al-Qāḍī, sepupu Al Farrā` dari ibunya (ibn Khālatihi), mengatakan padanya saat menghadiri majelisnya:

“Engkau sangat piawai dalam ilmu-mu (bidang nahwu), sekarang perhatikan masalah berikut yang saya ajukan kepadamu, di luar bidang ilmu-mu: apa pendapatmu mengenai seseorang yang lupa dalam salatnya lalu ia sujud sahwi. Kemudian, dalam sujudnya ini ia juga lupa. (Apakah ia sujud sahwi untuk kedua kalinya?).

“Dia tidak harus melakukan apapun (termasuk sujud sahwi kembali)”, jawab Al Farrā`.

“Kenapa bisa demikian?”

Taṣġīr, menurut kami (para ahli Nahwu), tidak bisa di-taṣġīr. Begitu pula lupa (sahwu) dalam sujud sahwi tak bisa “ditambal” dengan sujud sahwi yang lain. (Sujud sahwi sebagai tambalan terhadap kesalahan dalam salat jika difungsikan untuk kesalahan dalam sujud sahwi) sama dengan taṣġīr pada isim taṣġīr. Sujud sahwi berfungsi menambal kesalahan dalam salat, dan tambalan tak bisa ditambal. Sama dengan isim taṣġīr tak lagi bisa di-taṣġīr.”

“Saya rasa tak akan ada perempuan yang melahirkan orang secerdas dirimu!” kata Al Qāḍī Muhammad bin Al Hasan. (Al-Imām Asy-Syāṭibī, Al Muwāfaqāt, jilid 1, hal. 117-118).

***

Ahli Fikih juga memiliki kaidah yang bunyinya berirama: “Al Masyġūl lā yusyġal”, yang telah terisi tidak bisa diisi kembali, atau yang telah sibuk tak dapat diisi dengan kesibukan yang lain.

Ada beberapa contoh, di antaranya:

Seseorang yang manggadaikan barang sebagai jaminan hutang kepada orang lain, maka ia tak berhak  menggadaikannya kembali kepada yang lainnya. Barang yang telah digadaikan sebagai jaminan telah penuh dengan satu fungsi, maka ia tidak bisa diisi dengan fungsi yang sama.

Imam Az Zaila’ī menjelaskan, air jika hanya cukup untuk minum sebagai kebutuhan pokok, maka tak boleh difungsikan sebagai air wudhu. Air ini telah dipenuhi dengan fungsinya, maka tidak boleh difungsikan untuk yang lainnya. Oleh karena itu, boleh melakukan tayammum meski ada air jika hanya cukup untuk minum, (Al-Imām Az Zaila’ī, Tabyīn al Ḥaqāīq, jilid 1, hal. 253-254).

Tampaknya, kaidah ini juga populer dalam ilmu Tasawwuf. Imam Al-Qusyairī dalam Risalah-nya mengatakan, “(Syahwat-syahwat) yang bermunculan tak akan mampu mempengaruhi diri seorang sufi”. Imam Zakariya Al-Anshari dalam syarah-nya menyampaikan, hal itu karena ia menjauh dari syahwat-syahwat tersebut dengan menyibukkan diri dengan Tuhannya. Al-‘Arūsī dalam Hasyiah-nya memberi catatan: “Al Masyġūl lā yusyġal” [3]: jiwa yang telah terisi dengan kesenangan bersama Tuhannya tak dapat diisi dengan syahwat-syahwat yang lain, (Ḥāsyiyah Al-‘Allāmah Al-Muṣṭafā Al-‘Arūsī, al-Musammāh bi Natāij al-Afkār Al-Qudsiyyah fī Bayān Syarh Ar Risālah Al Qusyairiyyah li Syaikh al-Islām Zakariyyā Al-Anṣāri, Jilid 3, hal. 20).

Foto: Di suatu pagi, kami “sibuk” mengayuh pedal sepeda mengelilingi sejumlah desa di Sarang: Gunung Mulyo, Nglojo, Dadap Mulyo, Babak-Tulung, dan kembali ke Gondanrojo. Kami mengunjungi santri-santri kami di STAI Al Anwar yang sedang ber-KKN. Semoga kami "disibukkan" dengan hal-hal yang positif, sehingga hal-hal negatif tak mampu menempati jiwa dan raga kami. Al-Masyġūl Lā Yusyġal.(*)

***

Penulis: KH. Abdul Ghafur Maimoen
Editor: Muhammad Mihrob