Saat Mbah Mad Mranggen 'Menekuk' Logika Hukum Usulan Lokalisasi

 
Saat Mbah Mad Mranggen 'Menekuk' Logika Hukum Usulan Lokalisasi

LADUNI.ID, Jakarta - Ada sepenggal cerita tentang kedalaman ilmu Mantiq (logika) Mbah Mad, sebutan KH. Ahmad Muthohar Mranggen, yang mampu “menekuk” logika hukum seorang anggota DPR yang menyetujui usulan lokalisasi. Cerita ini barangkali dapat menginspirasi kita yang sedang larut di tengah arus pro dan kontra pemberian ijin investasi miras di propinsi Bali, Sulawesi Utara, NTT, Maluku, dan Papua.

Mbah Mad atau KH. Ahmad Muthohar adalah adik kandung KH. Muslih Mranggen. Beliau tercatat pernah menjadi Rais ‘Am Jam’iyat at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdhiyyah di era 90-an. Sebagai tokoh ulama, beliau pernah kedatangan dan menerima tamu seorang petinggi partai dalam rangka tabayun menyikapi usulan peraturan lokalisasi judi dan prostitusi.

Singkat cerita, seorang petinggi partai itu menyampaikan aspek manfaat lokalisasi. Di antaranya supaya penyakit masyarakat lebih mudah diawasi karena terpisah dari lingkungan masyarakat umum. Di samping itu retribusi yang dikenakan kepada pelaku usaha dan para pengunjung di lokalisasi itu dapat menambah in-come negara.

Sang tamu yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum terdengar sangat fasih menyampaikan alasan-alasan pentingnya aturan lokalisasi dengan menggunakan logika hukum yang mantap. Tamu-tamu lain yang hadir di “ndalem” Mbah Mad juga menyimak dengan baik dan sesekali terlihat mereka menganggukkan kepala, mengisyarakat seolah-olah masuk akal.

Terkecuali hanya Mbah Mad, yang dalam kebiasaan duduk bersila beliau tetap menundukkan kepala dan sesekali memiringkan tubuh dan kepalanya dengan bertumpukan lengan tangan yang dijulurkan ke lantai. Wajah beliau tampak tersenyum simpul merespons kalimat-kalimat logis yang dikemukan seorang petinggi partai tersebut.

Beliau kemudian menjelaskan dalam kalimat yang kira-kira jika ditulis semacam ini: “dijauhkan maupun dipisahkan tak berpengaruh selama dalam hati manusia masih ada medan magnet baik (ma’ruf) dan buruk (munkar). Kalau manusia masih kuat tarikan munkar-nya maka akan semakin nekat dan hatinya bertambah uring-uringan,” kata Mbah Mad.

“Kalau begitu apa tak perlu diatur, kiai? Bukankah kalau tidak diatur artinya Negara melakukan pembiayaran!? Apa tidak menimbulkan penyelewengan oknum yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi?,” petinggi partai itu bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, Mbah Mad menjawab: “Dari sejak Nabi Adam sampai hari kiamat akan tetap terjadi penyakit masyarakat seperti itu. Tak ada jaminan kalau sudah dilokalisasi, di lingkungan masyarakat tidak timbul penyakit itu. Melegalkan lokalisasi sama halnya melegalkan cara kerja oknum-oknum itu karena pada dasarnya yang mendapatkan keuntungan dari penyakit masyarakat itu juga bagian dari golongan mereka sendiri. Apa bapak ingin menjadi bagian dari mereka itu?”

Sang petinggi partai dan tamu yang hadir terdiam semua mendengar petuah Mbah Mad. Mungkin dari hasil pertemuan itu, sang petinggi partai itu membawa dan menyampaikan petuah-petuah Mbah Mad ke internal partainya, sehingga reduplah wacana pengaturan lokalisasi di tahun 90-an.(*)

***

Penulis: M. Ishom el-Saha
Editor: Muhammad Mihrob