Peradaban Berkembang Cepat, Sarjana Indonesia Bisa Apa?

 
Peradaban Berkembang Cepat, Sarjana Indonesia Bisa Apa?
Sumber Gambar: Dok. viva.co.id

LADUNI.ID, Jakarta - Falsafah 'siri' tidak berdiri sendiri, ada 'pesse' yakni turut merasakan proses pergerakan berdayung bersama melintasi benua dan samudra. Indahnya bunyi pepatah: pauno siri’, ma’palete pesse’ ri pa’masareng esse’. Atau, “kehormatan bisa menyebabkan kematianmu, dan rasa iba bisa membawamu ke alam baka”. Antara siri’ dan pesse’ prinsip 'mental' keseimbangan membongkar lingkaran oligarchis, patrimonial dan primordial dengan slogan kemerdekaan (liberty) dan keadilan (justice) yang telah dipolitisir untuk keserakahan. Dua hal ini sebagai bekal yang diwariskan kepada cucu-cicit saat ini dari leluhur terdahulu melanjutkan agenda corat-menyoret, gali-menggali peradaban dan kearifan akal dan hati.

Bukankah selaras dengan apa tujuan manusia dari kitab Hukum Hammurabi Babilon 1700 SM yang sebagian isinya senada dengan Al-Quran yang hadir 600an M., lalu pembiasan sejarah pemikir Barat mengatakan itu adalah zaman kegelapan 'Black Century, sejatinya adalah keemasan intelektual Islam 'The Golden Age Of Islam' yang disembunyikan sejak kehadiran Baginda Rasulullah. Percayakah bahwa selama 10 Abad lebih lamanya terjadi kekacauan sistem dan kemunduran ilmu pengetahuan, tiba-tiba melompati spektrum beralibi renaisance, deklarasi Kemanusian oleh PBB dan konsep ideal tentang bernegara dan manusia menurut mereka.

Al Kindi, Al Farabi, Averroess (Ibnu Rusyd), Ibnu Sina (Avicenna), Al Ghazali yang telah lama meracik formula sosial-ekonomi-politik jauh sebelum ledakan teknologi dan industri, yang kini menyapu bersih kritisme mahasiswa. Semisal Devision of Labor-nya Adam Smith, telah tertuang dalam Ihya Ulumuddin-nya Al Ghazali. Yang satu memberikan sampel untuk produksi perusahaan jarum dan yang satu adalah peniti, intinya adalah bagaimana sub-pekerjaan dibuka semaksimal munkin diberbagai tugas-tugas tertentu.

Manakala dikotomi ala sekulerisme kebarat-baratan dan rasionalime keyunani-yunanian sampai lupa siapa mereka yang bisa dipastikan adalah para Nabi, sebut saja Sidharta Gautama 'Budha',  Kong Hu Cu, Lao Tsu dengan teosentrisnya ber-adagium Islam yang serasa-rasa hablum minallah-minannas-minal 'alam. Apa yang terjadi dalam sendi-sendi keislaman yang kita curahkan selama ini adalah dominan hasil olahan pemikiran barat, dan penerapan budaya non-lokal secara paksa.

Semua itu adalah peradaban yang perlu dikonversi dan tidak dibenturkan dengan Nusantara-Indonesia yang plural. Apapun motifnya, entah itu dalih ideologi, sektarianisme agama, budaya, barang atau jasa, semuanya melebur dalam reinterpretasi pemikiran agar kontekstual dengan tradisi-lokalitas, artinya wacana atau produk modernitas bukan sesuatu hal yang menakutkan, padahal semua itu adalah kreativitas manusia yang sepatutnya kita kontemplasikan seksama dan bagaimana sumber daya dan produktivitas betul-betul digarap untuk kesejahteraan mayoritas tanpa sentimen SARA 'Maslahah Al-Ammah' yang notabene-nya adalah manifestasi Pancasila dan masih selalu dibentur-formalkan.

Sungguh ada sensasi lucu tersendiri, hidup di mana orang-orang yang berdebat soal istilah, simbol dan nama. Tetapi pembudayaan diri yang dicerminkan bertolak belakang dengan apa yang sering kita sematkan sebagai binatang yang berfikir atau hayawaan nathiq (animal reasoning),  ataukah term 'reasoning' telah kita kubur di dalam angan-angan liar, sehingga yang dipamerkan adalah keaslian binatang, sangat membingunkan bukan?

Penulis pun tidak mengerti perkumpulan-perkumpulan yang tergila-gila dengan urusan biologis 'seks' semata, mulai dari agama dan urusan sosial adalah ketiadaan silaturahim tanpa membicarakan aib, pamer perempuan cantik dan pria gagah, haruskah berkata kasar kepada mereka?

Tidak diragukan lagi, tugas sarjanawan muda dan berkualitas, mau membawa Indonesia ke mana? Tradisi akan diracik seperti apa? Turut andilkah dalam kontraksi dagang Internasional, membaca peluang posisi strategis Indonesia? Mau sampai kapan kampanye demokrasi itu diteruskan berulang-ulang oleh para demagog demokrasi dengan ambisi controling system dan transaksi kekuangan, tanpa pembibitan sekaligus pembudayaan ke dalam individu biar terwujudnya demokrasi yang benar-benar demokratis?

Maka, untuk sarjanawan modal kertas ijazah dan korban leftism infantile desease (penyakit kiri kekanak-kenakan), bisa apa?.(*)

***

Penulis: Ahmad Riecardy
Editor: Muhammad Mihrob