Ajaran Tasawuf dan Toleransi Beragama Tanpa Diskriminasi (Ngaji Ramadhan)

 
Ajaran Tasawuf dan Toleransi Beragama Tanpa Diskriminasi (Ngaji Ramadhan)
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Situbondo – Jika ajaran Fiqih lebih banyak bicara soal "halal-haram", "sah-batal", atau lebih tepatnya berbicara soal " Haram, Makhruh Tahrim-tanzih, Mubah, Sunnah, Wajib, , Khilaful Aula", atau yang lebih dikenal dengan al-ahkam as-sab'ah (tujuh jenis hukum dalam fiqih), maka Tasawwuf lebih banyak membicarakan soal baik -tidak baik, pantas-tidak pantas, patut-tidak patut. Jika Fiqih "seringkali" lebih bersifat formalitas yang didasarkan pada terpenuhinya Rukun-Syarat, dan juga didasarkan pada "illat", maka tasawwuf lebih bersifat substansial yang mengedepankan rasa dan etika-moral.

Olehnya, Dalam konteks Toleransi baik intra maupun antar agama, ajaran tasawwuf lebih sering digunakan dan lebih cocok. Sebab membangun hubungan kemanusiaan dengan siapapun membutuhkan "rasa" dan kesalingan yang bersumber dari kejernihan hati, disamping tentu saja perintah agama. Tasawwuf atau al-ahkam al-khuluqiyah di definisikan dengan "ajaran-ajaran yang berkaitan dengan upaya menjernihkan hati dari sifat-sifat yang tercela (التخلي-takhalli), dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (التحلي-tahally).

Baca Juga: 5 Pemberian Allah di Bulan Ramadhan Khusus untuk Umat Nabi

Salah satu ajaran Tasawwuf yang mengajarkan bagaimana membangun toleransi atas dasar hubungan kemanusiaan adalah ajaran tentang "al-Futuwwah-الفتوة ". Menurut Imam al-Qusyairy dalam kitabnya ar-Risalah al-Qusyairiyyah (hlm. 275), Futuwwah bermakna "jika seorang selalu mengabdikan dirinya untuk kepentingan orang lain". Konsep ini diinspirasi oleh ayat dalam surat al-Kahfi yang menceritakan ashabu al-kahfi, yaitu bahwa mereka itu adalah "إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى "- orang-orang muda pemberani yang beriman kepada Rabnya dan terus mendapatkan hidayah".

Ulama Tasawwuf mendefinisikan al-Futuwwah dengan pengertian yang beragam terkait dengan "rasa" yang mereka miliki. sebagian mereka mendefinisikan al-Futuwwah adalah memaafkan kesalahan-kesalahan kawan. Sebagian yang lain mengartikan al-Futuwwah adalah "tidak melihat dirinya lebih baik dari orang lain". Ada juga yang mengartikan " orang yang tidak memiliki dan menjadi musuh siapapun".  ada juga definisi yang menarik, ;

وقيل لبعضهم: مَا الفتوة فَقَالَ: أَن لا يميز بَيْنَ أَن يأكل عنده ولى أَوْ كافر.

Futuwwah adalah orang yang tidak membeda-bedakan  apakah yang makan di sampingnya "seorang wali" ataukah seorang kafir. Jadi jika seorang sudah tidak lagi membedakan siapakah disampingnya, apakah ia seorang kekasih Allah, orang kafir, atau siapapun, maka ia telah sampai pada maqam "Futuwwah".

Baca Juga: Terbangnya NU Sejak Muktamar Situbondo

Ada juga yang mengartikan;

وقيل: الفتوة ترك التمييز.

Futuwwah adalah tidak diskriminatif (atas nama apapun)

Jadi al-Futuwwah adalah seorang yang seluruh hidupnya diabdikan untuk kepentingan orang lain tampa membeda-bedakan apa agama dan keyakinannya, jenis kelamin, ras maupun etnisnya (tidak diskriminatif) . Atau bahasa lainnya "mengabdi tampa syarat". pengertian ini didukung sebuah kisah sebagaimana dituturkan ulama;

" suatu hari seorang Majusiy meminta makan kepada Nabiyullah Ibrahim as. Nabi Ibrahim as menjawab, ia saya mau kasih makan dengan syarat masuk Islam. mendengar syarat itu, si Majusiy enggan dan Pergi. Ketika itulah Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim, wahai Ibrahim, sejak 50 tahun saya memberi makan orang majusiy itu di atas kekfurannya, dan saya tidak pernah minta syarat. Mengapa engkau tidak kasih saja makan si Majusiy itu tampa harus memintanya untuk mengubah agamanya? mendapat teguran Allah ini, Nabi Ibrahim segera mengejar Majusiy dan memintanya maaf. Justru dengan permintaan maaf Nabiyullah Ibrahim ini, konon si Majusiy masuk Islam. (al-Qusyariyyah, hlm 276)

Baca Juga: Safari Ziarah dan Bertawassul di Makam KH. R As'ad Syamsul Arifin Situbondo

Apa yang bisa kita petik dari kisah ini? antara lain untuk memenuhi kebutuhan dunyawiyah orang lain tidaklah boleh bersikap diskriminatif atas nama apapun. Ini penting bagi pejabat publik (rumah sakit, adminduk, pelayanan publik) dan bagi siapapun yang berkuasa, agar tidak membeda-bedakan di dalam menjalankan tugas pelayanan dan tugas konstitusionalnya.

Oleh: Kiai Imam Nakha’i/Dosen Ma’had Aly Situbondo, 26 April 2021.