Pendek Pengetahuan Menyebabkan Mudah Berburuk Sangka Kepada Orang Lain

 
Pendek Pengetahuan Menyebabkan Mudah Berburuk Sangka Kepada Orang Lain
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Orang yang sedikit bacaannya, maka akan mudah menyalahkan amaliyyah orang lain yang berbeda dengan sependek pengetahuannya. Dan orang-orang seperti itu biasanya mempunyai sifat fanatik serta sulit bahkan tidak mau menerima pendapat orang lain. Berangkat dari pengalaman pribadi, berikut akan saya tulis beberapa contoh saja yang saya alami sendiri termasuk ketika saya pulang ke kampung halaman. Saya tulis kejadian tentang salat saja, kalau semuanya tentu terlalu panjang.

1. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena tidak tasyahhud awal. Padahal tasyahhud awal bukan rukun salat. Boleh jadi dia sengaja tidak melakukan karena tahu bukan rukun.

2. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena tidak menempelkan telapak tangan dan ujung jari kaki ketika sujud. Padahal menurut imam ar-Rafi'i yang wajib hanyalah menempelkan dahi. Boleh jadi dia ikut pendapat imam ar-Rafi'i.

3. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena tidak menempelkan jari kaki saat tasyahhud akhir. Atau karena kaki kiri yang di tekuk dan kaki kanan yang diduduki. Padahal gaya posisi tasyahhud bukanlah rukun. Mau tasyahhud bersila, selonjoran, duduk sambil menekuk lutut atau duduk seperti apapun tidak masalah. Boleh jadi dia sengaja karena tahu ilmunya.

4. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena tidak manggil salam yang kedua. Padahal yang wajib hanya salam yang pertama. Boleh jadi dia buru-buru ada urusan sedangkan dia tahu kalau itu bukan rukun.

5. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena sambil garuk-garuk. Padahal hal itu tidak masalah selama telapak tangannya tidak ikut bergerak. Hanya saja makruh. Boleh jadi dia tahu kalau itu hanya sebatas makruh.

6. Menilai tidak sah salatnya imam karena terlalu kencang membaca fatihah dan surah, sehingga makmum tidak dapat menyelesaikan bacaan fatihahnya sendiri. Atau karena imam tidak membaca surah setelah fatihah, sehingga makmum tidak punya waktu untuk baca fatihah sendiri. Padahal makmum yang tidak sempat menyelesaikan bacaan fatihahnya sendiri dalam setiap rakaatnya, tetap sah karena dihitung masbuq.

7. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena menggunakan pakaian yang super tipis dan cukup transparan. Padahal kewajiban menutupi aurat dalam salat hanya sebatas tidak terlihatnya warna kulit. Boleh jadi dia tahu akan batasan itu.

8. Menilai tidak sah salatnya seseorang karena ada anak kecil yang tiba-tiba mengangkat sarungnya sehingga bagian pahanya terbuka, sedangakan dia langsung segera menutupnya. Padahal yang demikian tidak masalah asalkan segera ditutup kembali. Boleh jadi dia tahu hal itu tidak membatalkan salat.

9. Menilai telah berdosa seseorang karena bangun kesiangan sehingga ia tidak salat subuh tepat waktu. Padahal orang tidur tidak terkena taklif (tuntutan perintah/larangan) dan dia tidak berdosa asalkan tidurnya sebelum masuk waktu salat dan bangun setelah keluar waktu salat. Boleh jadi dia memang tidur sebelum masuk subuh dan memang tidak bangun sama sekali kecuali setelah terbit matahari.

Sungguh orang-orang seperti itu telah menilai sesuatu yang tidak ia ketahuinya. Tidak sampai disitu, sebab ketidaktahuannya itu, biasanya mereka akan hilang kepercayaan dan membisik-bisiki orang lain agar tidak bermakmum kepadanya. Bahkan terkadang mereka akan menyeret nama orang tuanya dan pesantrennya. Benar-benar bahaya!

Saya teringat dawuh Gus Baha', "Orang yang banyak ngaji setidaknya dia mudah berbaik sangka kepada orang lain." Betul kata beliau, karena meskipun faktanya orang itu memang tidak tahu ilmunya, maka orang yang lebih banyak bacaannya tidak akan kaget, santai-santai saja, dia akan tetap berbaik sangka dan tak akan memprotesnya apalagi menilainya tidak sah. Teringat guyonan al-Maghfurlahu Gus Dur, "Santri yang masih ngaji Fathul Qarib kalau lewat depan kamar mandi sarungnya di jinjing setinggi lutut."

Orang yang selalu berbaik sangka kepada orang lain insyaallah akan selamat. Tidak sebaliknya. Bapak saya sewaktu nyantri pernah cerita tentang gurunya, al-Maghfurlahu KH. Habibullah Rais. Suatu saat dalam perjalanan beliau melihat sepasang muda-mudi sedang berduaan. Lantas beliau berdawuh untuk tetap berbaik sangka. Bisa jadi mereka suami istri atau saudara.

Mungkin kalau kita akan mudah mengira mereka sedang berpacaran. Bayangkan seandainya bukan, maka kita telah menuduh mereka sedang bermaksiat.

Tentunya, meskipun kita banyak tahu tentang ilmu amaliyyah dan semua khilafiyahnya, bukan lantas bebas memperaktikkan tanpa melihat lingkungan masyarakatnya dan bodo amat sama omongan orang lain. Jelas ini tidak baik, karena sangat berpotensi menimbulkan fitnah bagi masyarakat awam. Kedua-duanya harus saling menjaga. Yang sudah tahu tetap menjaga perasaan orang yang tidak tahu, artinya lebih baik menggunakan cara-cara yang sudah maklum diketahui. Sedangkan orang yang tidak tahu, usahakan selalu berbaik sangka.

Wallahu A'lam.

Sumenep, 22 Mei 2021

 

Oleh: Ahmad Mo’afi Jazuli

Sumber: https://www.facebook.com/photo?fbid=137105605135515&set=a.115504967295579