Karomah Mbah Syaiban #1: Ilmu Melipat Bumi

 
Karomah Mbah Syaiban #1: Ilmu Melipat Bumi
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Kali ini kisahnya dialami oleh seorang Kiai Soleh asal Pucak Wangi, Pageruyung, Kendal (Ayahanda Kiai Rosyidin, pengasuh salah satu pondok di Bumen, Sukorejo).

Suatu hari Kiai Soleh bersama Istri dan anak putrinya sowan menghadap Mbah Syaiban di kediamannya, Desa Wonorojo, Tamanrejo, Sukorejo, Kendal. Setelah lama bercengkerama, tak terasa adzan Maghrib berkumandang dan Kiai Soleh pun hendak melaksanakan sholat Maghrib bersama istrinya di Masjisld Baitul Muttaqin Wonorojo yang berada tepat di depan rumah Mbah Syaiban. Namun, putri Kiai Soleh yang masih kecil rewel, merengek minta pulang saat itu juga. Akhirnya, Mbah Syaiban menyarankan agar Kiai Soleh dan keluarganya untuk pulang.

Kiai Soleh menuruti apa yang disarankan oleh gurunya itu dan beliau pulang lewat hutan serta perkuburan umum di Desa Tamanan dengan berjalan kaki. Perjalanan yang ditempuh biasa-biasa saja seperti pada umumnya. Namun, yang membuat Kiai Soleh heran adalah saat beliau tiba di rumah, adzan Maghrib juga baru berkumandang dan beliau masih sempat sholat Maghrib berjamaah di masjid desanya. Padahal, jarak sejauh itu jika ditempuh dengan berjalan kaki paling tidak memakan waktu sekitar tiga sampai empat jam lebih.

Di lain waktu, Mbah Syaiban mengajak warga desanya untuk ziarah ke makam Sunan Gunung Djati di Cirebon. Agenda ziarah ini dipanitiai oleh Pak Daryanto. Ada sekitar tiga puluh lebih jemaat yang ikut serta dalam wisata religi ini. Mereka menggunakan satu mobil bus untuk perjalanannya.

Sesampainya di Cirebon, tepatnya di Terminal Gunung Sari, semua jemaat turun dari bus dan diangkut oleh mobil taksi. Sedikit demi sedikit para jemaat sudah mulai berjalan menuju terminal Gunung Djati, hingga tersisa sekitar lima orang, yaitu; Mbah Syaiban sendiri, Putrinya, (Ibu Siti Jariyah), Pak Haji Sufyan (Jlamprang, Batang), Pak Daryanto sebagai panitia ziarah, dan Pak Imron.

Menurut penuturan Ibu Siti Jariyah, sudah pasti mereka akan tertinggal jauh oleh rombongan sebab mereka adalah rombongan yang paling terakhir berangkat dari Terminal Gunung Sari menuju Gunung Djati. Namun, ada yang aneh. Sesampainya di Gunung Djati, Ibu Siti Jariyah tidak mendapati satu pun orang dari jemaat yang tadi sudah berangkat lebih dulu. Setelah sekian lama, barulah jemaat yang lainnya sampai di lokasi. Itu pun setelah Ibu Siti Jariyah dan yang lainya selesai mandi, sholat, makan, dan lain-lain.

Pernah suatu ketika, Mbah Syaiban dan Mbah Ilyas (Mbah Liyas) sholat Maghrib di atas batu di sebuah sungai, warga setempat menyebutnya 'Kali Damar'. Seusai sholat, dengan tiba-tiba Mbah Syaiban menghilang untuk beberapa saat lalu datang kembali. Mbah Ilyas yang mendapati hal aneh semacam itu hanya kebingunan.

Ternyata, di waktu yang sama saat menghilangnya Mbah Syaiban dari hadapan Mbah Ilyas, Mbah Syaiban tengah berada di tempat lain, sedang mengobati anak tetangganya yang sakit.

K.H. Nawawi Zahidin, pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qurro' Kertasmaya Indramayu sering menceritakan bahwa Mbah Syaiban hanya memerlukan waktu lima menit untuk menempuh perjalanan Kendal, Jawa Tengah sampai ke Indramayu, Jawa Barat.

Seorang kekasih Allah yang dicintai oleh-Nya tidak aneh jika melakukan hal di luar logika seperti itu.

والله أعلم بالصواب

 

Oleh: Nur Fuad As-syaiban

Sumber: https://www.facebook.com/groups/1068514559936172/permalink/3971922432928689