Catatan Sejarah Kelam tentang Perang Saudara dalam Islam

 
Catatan Sejarah Kelam tentang Perang Saudara dalam Islam
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID Jakarta - Suatu hari, putri Rasulullah SAW, Fatimah r.ha, mengadu kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib r.a. Fatimah mengadu tangannya luka-luka akibat terlalu sering membikin adonan roti dari gandum.

Lalu Ali berkata, "Ayahmu telah datang dengan membawa beberapa tawanan, pergilah temui ayahmu dan mintalah seorang dari mereka untuk menjadi pembantumu."

Fatimah pun menemui ayahnya. Namun, ia tak berani menyampaikan maksudnya. Lalu, Ali datang menemui Rasulullah dan menyampaikan maksudnya. Tetapi, Rasulullah SAW tak mengabulkan permintaan orang yg paling dicintainya itu meski beliau tahu bahwa keluarga putrinya memang serba kekurangan.

Nabi SAW kemudian menemui putri dan suaminya. Beliu bersabda, "Maukah aku ajarkan kepada kamu berdua sesuatu yang baik dari apa yang kalian minta? Jika hendak tidur, bacalah Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar sebanyak 33 kali. Sesungguhnya hal itu lebih baik dari seorang pelayan."

Ali bin Abi Thalib r.a selalu melaksanakan nasihat Rasulullah SAW itu. Ia pernah mengatakan, "Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkannya sejak beliau mengajarkannya kepadaku."

Salah seorang sahabat ada yang bertanya, "Hatta pada malam peristiwa Shiffin?"

Ali menjawab, "Ya, benar, hatta pada malam peristiwa Shiffin." (HR. Bukhari dan Muslim)

***

Kisah dalam Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim itu menyebut nama peristiwa "Shiffin". Ibnu Katsir dalam Kitab Bidayah wan Nihayah menceritakan, bahwa Shiffin adalah nama sebuah daerah di tenggara Kota Raqqah, Suriah, sekitar 15 kilometer di tepian Sungai Eufrat.

Dari arah barat dan timur, Shiffin berada di antara Raqqah dan Palas. Saat ini, Shiffin berada di tenggara desa Ekrsye (hanya berjarak 500 meter). Di wilayah itulah pernah terjadi sebuah peristiwa bersejarah dalam peradaban Islam. Peristiwa itu dikenal sebagai "Perang Siffin".

Perang Shiffin terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah.

Perang saudara itu terjadi pada 1 Shafar tahun 37 H/  26-28 Juli 657 M. Perang saudara pertama dalam sejarah peradaban Islam itu terjadi pada zaman fitnah besar.

Orang-orang dari penduduk Mesir terhasut bujukan Abdullah Ibnu Saba’ (seorang munafik lagi fasiq keturunan Yahudi) untuk bersekongkol menggulingkan Utsman bin ‘Affan dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah.

Wafatnya Utsman bin Affan menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya:

“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga Hari Kiamat”

Perang saudara itu terjadi akibat ulah dan provokasi dari pengikut Abdullah bin Saba'. Adalah dendam lama pengikut Abdullah bin Saba' terhadap Mu'awiyah yang memantik pertempuran itu.

Abdullah bin Saba' menurut sebuah versi adalah seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian melakukan makar.

Kelompok Abdullah bin Saba' berupaya menebar fitnah untuk menjatuhkan citra pejabat negara. Upaya itu dilakukan agar rakyat membenci pejabat yang ditunjuk Khalifah Utsman. Amru bin Ash, gubernur Mesir, menjadi sasaran pertama.

Fitnah yang ditebarkan Abdullah bin Saba' dan pengikutnya berhasil menjatuhkan sang gubernur. Kemudian, setelah berhasil mendongkel gubernur Mesir, kelompok itu lalu mengajak pendukungnya di Syam, Kufah, dan Bashrah untuk menggulingkan gubernur mereka masing-masing.

Gubernur Kufah, Said bin Ash, berhasil digulingkan. Namun, mereka gagal mendongkel Mu'awiyah dari kursi Gubernur Syam, yang telah berkuasa sejak era Khalifah Umar.

Posisi Mu'awiyah sebagai gubernur memang terbilang cukup kuat alias tak bisa didongkel oleh gerakan kelompok Sabaiyah. Dalam Tarikh At-Thabari ditulis, Khalifah Utsman telah mengingatkan Mu'awiyah akan adanya upaya makar itu.

Utsman berkata, "Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik, terimalah. Akan tetapi, jika mereka melemahkanmu, kembalikan ke Kufah."

Kelompok itu sempat datang menemui Mu'awiyah, kelompok Sabaiyah meminta agar Mu'awiyah melepas jabatannya. Namun, ia menolaknya. Kelompok itu lalu dikeluarkan dari Syam. Dan setelah wafatnya Utsman, kelompok ini yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib.

Penyebab meruncingnya hubungan Ali dan Mu'awiyah adalah adanya para "provokator" dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang ingin memerangi Mu'awiyah.

Sebenarnya, tak ada perselisihan antara Ali dan Mu'awiyah. Yang ada perselisihan hakikatnya adalah antara pengikut Abdullah bin Saba' dan Mu'awiyah. Terlebih, Mu'awiyah mendesak dilakukannya hukuman hadd kepada kelompok itu atas terbunuhnya Utsman.

Perselisihan terjadi setelah Ali memutuskan untuk mengganti Mu'awiyah dari jabatan Gubernur Syam. Posisinya diganti oleh Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan berangkat ke Syam.

Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Mu'awiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali. Ali lalu mengirim surat kepada Mu'awiyah, namun surat itu tidak dibalas hingga tiga bulan setelah wafatnya Utsman.

Lalu, Mu'awiyah mengutus Qubishah Al-Abasi menghadap Khalifah Ali dan menyatakan alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat. Mereka meminta agar pelaku pembunuhan Utsman diadili.

Kaum Sabaiyah lalu mencoba memprovokasi dan bahkan memerintahkan agar utusan Mu'awiyah dibunuh. Dalam Tarikh At-Thabari disebutkan, bahwa Bani Mudhar mencegah mereka yang hendak membunuh Qubishah.

Utusan Khalifah Ali pun keluar dari Syam karena penduduk provinsi itu menolak memberi baiat, kecuali pelaku pembunuhan Khalifah Utsman dihukum. Kelompok Sabaiyah pun semakin terancam karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.

Lalu, mereka mendesak Amirul Mukminin untuk memerangi Mu'awiyah. "Maka, para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Syam," demikian tertulis dalam Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah.

Awalnya, Imam Ali tak pernah berniat untuk perang. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menyebutkan, khalifah mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam. Bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Irak untuk mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Mu'awiyah.

Mendengar kabar itu, Mu'awiyah naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jamaah, "Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Irak untuk kalian. Apa pendapat kalian?"

Para jamaah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, "Anda yang berpikir, kami yang melaksanakan."

Akhirnya, Mu'awiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi tiga bagian.

Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali lalu mengabarkan apa yang terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar dan mengatakan kepada jamaah, "Mu'awiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian. Apa pendapat kalian?"

Semua hadirin terheran dan berbicara satu sama lain. Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar dengan mengatakan, "la haula wa la quwwata ila billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)"

Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah, disebutkan Abu Muslim Al-Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Mu'awiyah dan bertanya, "Apakah engkau melawan Ali?" Mu'awiyah lalu menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi, bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terzalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya."

Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a sebagai wali Utsman secara "syariat" berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah SAW.

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yg diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (QS. AI-Isra’: 33)

Mu’awiyah memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib r.a. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman bin Affan diserahkan untuk ditegakkannya qishash.

Ketika itu, Mu’awiyah adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah baiat Mu’awiyah dan penduduk Syam.

Ibnu Katsir berkata, “Ketika baiat telah kokoh untuk Ali , beberapa sahabat seperti Thalhah, Zubair, dan para pemuka sahabat mengunjungi Ali. Mereka meminta Ali segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman. Namun, Ali menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash.) karena pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan memiliki bala bantuan sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu.

Ibnu Katsir mencatat bahwa Perang Shiffin melibatkan 120 ribu orang pasukan Kufah dan yang terbunuh mencapai 40 ribu. Sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang. Dalam pertempuran itu, pasukan Mu'awiyah nyaris kalah.  Dalam posisi terdesak, penasihat Mu'awiyah Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Al-Qur'an di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Al-Qur'an.

Atas desakan itu, Khalifah Ali akhirnya menghentikan serangan dan kedua belah pihak memilih berdamai.

Mu'awiyyah bin Abu Sufyan: Khalifah Pertama Dinasti Umayyah

Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.

Namanya dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah “kemenangan” dari Ali. Mu'awiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan Bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughirah keturunan Bani Quraisy. Tapi, pernikahannya tak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.

Mu'awiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad SAW. Ia baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam berbarengan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan, yang semula menjadi mata-mata warga Makkah yang menentang Nabi. Setelah dewasa, Mu'awiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.

Di masa Rasulullah SAW masih hidup, Mu'awiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang pencatat wahyu. Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah, yakni senang bermewah-mewah.

Dikisahkan, kabar tentang gaya hidup Mu'awiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka, pada suatu ketika, Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya. Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Mu'awiyyah, sang Khalifah pun menegurnya dengan cukup keras. Namun teguran itu dijawab Mu'awiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam. Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Mu'awiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.

Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Mu'awiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan resikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Mu'awiyyah sendiri. Tapi, jika itu bathil, cara itu merupakan tipu daya Mu'awiyyah sendiri.

“Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar ketika itu.

Mu'awiyyah tercatat sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai Gubernur Syam, misalnya, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan bahkan Mu'awiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke Laut Hitam, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil.

Pada tahun 653, Mu'awiyyah membangun benteng-benteng diperbatasan Konstantinopel guna menahan serbuan tentara Romawi. Ia pula, dalam serangan-serangan itu, yang berhasil membangun armada pertama angkatan laut pasukan Islam yang amat tangguh. Hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan memang sangat dekat. Maka tidak mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela atas kematian sang Khalifah.

Mu'awiyyah termasuk pemimpin daerah yg paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum orang yg membunuh Khalifah Utsman. Pembunuhan Utsman itu sendiri boleh dibilang sebagai semacam persekongkolan kelompok-kelompok yg tidak suka pada kebijakan sang Khalifah. Ada yang tidak suka karena kebijakannya mengangkat kerabat dan keluarganya untuk menduduki posisi tinggi. Ada juga yang tidak puas karena Utsman memecat sejumlah pejabat yang dinilai sebagai administrator yang piawai.

Pembunuhan itu sendiri berlangsung pada 655 M, setelah sebelas tahun Utsman memegang tampuk kepemimpinan umat Islam. Pembunuhan Utsman itu menandai semakin terpecahnya umat Islam kala itu ke dalam dua kubu: kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Mu'awiyyah.

Seperti diketahui, sebagian besar umat kala itu sepakat mengangkat Ali sebagai pengganti Utsman. Tapi, kenyataan ini ditampik oleh Mu'awiyyah. Ia secara terang-terangan menyatakan penolakannya untuk mengakui Ali sebelum pembunuh Khalifah Utsman dihukum.

Ali sendiri saat menerima tampuk kepemimpinan mewarisi kondisi umat yang cukup parah. Terutama sekali ancaman perpecahan yang kian meruncing di masa kepemimpinan Utsman. Ia bermaksud menyatukan dulu umat sebelum mengusut dan menghukum pembunuh Utsman. Itu sebabnya, ia meminta semua pemimpin di daerah untuk mengakui kepemimpinannya, termasuk Mu'awiyyah.

Sikap Khalifah Ali itu ditanggapi beragam. Intinya, ada yg mendukung dan ada yg menentang. Di mata para penentangnya, Ali dianggap membela si pembunuh yang nyata-nyata adalah musuh umat. Maka, selain Mu'awiyyah, tampil tiga pemimpin lain yang menyatakan melawan Ali. Mereka adalah Aisyah, Zubair, dan Thalhah.

Pasukan Ali dengan mudah menekuk perlawanan ketiga pemimpin tersebut. Yang terberat adalah menghadapi pasukan Mu'awiyyah. Ali sendiri ikut turun ke medan perang menyerbu Syam. Sementara Mu'awiyyah yang terkenal licin berhasil menarik politisi ulung, Amru bin Ash yang menjabat Gubernur Mesir untuk mendukungnya. Mu'awiyyah kemudian menyatakan mendirikan kekhalifahan tandingan.

Pertemuan kedua kubu itu tak terhindarkan. Perang Shifin meletus di kawasan hulu Sungai Eufrat yang kini dikenal sebagai perbatasan Irak dan Suriah. Dalam pertempuran itu, sebenarnya Mu'awiyyah sudah terdesak. Dengan siasat licik yang diajukan Amru untuk memecah kekuatan Ali, Mu'awiyyah mengajak Ali berunding di bawah lindungan Kitab Al-Qur’an.

Siasat itu memang jitu. Kubu Ali terpecah: sebagian menilai ajakan itu patut dihormati dan sebagian lagi menganggap itu tipu-daya Mu'awiyyah. Sementara, Ali yang lebih mengutamakan upaya persatuan umat, lebih memilih mengikuti ajakan berunding. Dalam perundingan itu, Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Anshari, sedangkan Mu'awiyyah diwakili Amru bin Ash. Keduanya sepakat untuk melengserkan Ali dan juga Mu'awiyyah. Tapi, ternyata Amru mengingkari kesepakatan itu.

Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus, komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Mu'awiyyah telah melanggar hukum Tuhan. Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Mu'awiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal, “La hukma illallah (Tidak hukum melainkan hukum Allah).”

Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina Ali wafat di tangan Abdurrahman ibn Muljam pengikut Khawarij pada tahun 40 H. Sedangkan Mu'awiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu. Pada saat itu, Mu'awiyyah sudah memindahkan pemerintahannya ke Damaskus. Lolos dari upaya pembunuhan, dan terbunuhnya Ali, memuluskan jalan Mu'awiyyah untuk lebih mengokohkan kekuasaan.

Pada masa itulah berakhirnya model pemerintahan kekhalifahan yang dicontohkan Rasulullah, yang lalu dilanjutkan oleh Khulafa Ar-Rasyidun. Mu'awiyyah mencanangkan berdirinya Dinasti Bani Umayyah dan dialah penguasa pertamanya.

Sejalan dengan itu, di kubu Mu'awiyyah itu berkembang pula paham teologi yang melanggengkan kekuasaannya. Inti ajarannya, umat harus pasrah pada nasib dan tunduk kepada pemimpin, karena semua itu adalah ketetapan Allah. Kaum yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo itu lalu dijuluki sebagai kaum Jabbariyah.

Tahkim Pasca Perang Siffin

Perang saudara antara kubu Mu'awiyah dan Ali akhirnya mereda. Kedua belah pihak akhirnya bertemu di meja perundingan melalui Tahkim, yakni penunjukan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut. Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Mu'awiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al-Asy'ari untuk menjadi penengah.

Ibnu Hibban dalam At-Tsiqat mengungkapkan, tahkim itu berisi keputusan bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Irak dan penduduknya. Sedangkan Mu'awiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya.

Sesuai kesepakatan tidak ada penggunaan senjata dan hal ini berlaku dalam satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang.

Tahkim itu sama sekali tak mengharuskan Mu'awaiyah membaiat Ali. Dan Khalifah Ali pun tidak memiliki keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman. Hasil tahkim itu membuat sebagian kubu Ali protes dan bahkan murka. Mereka menyatakan diri keluar dari Ali dan membentuk kelompok Khawarij

Gerakan Khawarij pun berencana untuk membunuh Ali, Mu'awiyah, dan Amru bin Ash. Dari ketiga orang yang diincar Khawarij itu, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh. Khalifah Ali wafat pada malam ke-17 bulan Ramadhan tahun 40 H.

Tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Nabi Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abu Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri kepada Allah, Tuhan semesta sekalian alam.

Kematian ayahnya yang tanpa membawa sejumput iman itu begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati kelak, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abu Thalib. Tak cuma dirinya, di sebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini, saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu beliau lindungi. Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah.

Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya shalat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya. Saat itu Abu Thalib berkata, “Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ali ada di saat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah SAW dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam. Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan beliau menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu "Ali, engkaulah saudaraku di dunia dan di akhirat....”

Ali adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Di saat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau.

"Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya," begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan.

Khalifah Umar bahkan pernah berkata, "Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa."

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali adalah sosok yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan beliau, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy, yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu "terpaksa" hijrah ditemani sahabatnya Sayyidina Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlal Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya.

Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separuh dari 70-an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah.

“Ya Allah, di sinilah sisa umat terbaikmu berkumpul. Jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini."

Dalam berbagai sirah, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, bisa dibilang menjadi bintang lapangannya hari itu.

Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum Muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting adalah, bahwa Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi Rasulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana.

Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis. Perang Uhud, meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para Ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah sang singa padang pasir. Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abu Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.

Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imaginasi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah. Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang "berani" maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud.

Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Perwujudan seluruh iman sedang berhadapan dengan perwujudan seluruh kekufuran”. Dan teriakan takbir menjadi penanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan.

Tidak ada pertumpahan darah. Kegemilangan ini membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan bersabda: “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga Hari Kiamat kelak”.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Makkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Makkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang Tabuk. Kehadiran Ali di Makkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya.

Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya." Dari ahli pedang menjadi ahli qalam (pena). Ali begitu tenggelam di dalamnya. Hingga kemudian ia "terbangun" kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan benang ruwet, sebuah noktah merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Sayid Machmoed BSA

Editor: Hakim