Kiprah Dakwah Alumni INAIFAS, Kiai Mushofa: Dulu Penjual Pentol, Kini Mengasuh Pesantren

 
Kiprah Dakwah Alumni INAIFAS, Kiai Mushofa: Dulu Penjual Pentol, Kini Mengasuh Pesantren
Sumber Gambar: Rijal Mumazziq Z

Laduni.Id, Jakarta – Sabtu-Ahad (19-20/06) dari Surabaya, saya meluncur ke Desa Batu Meranti, Kec. Sungai Loban, Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Mendarat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, lalu melanjutkan perjalanan darat selama lima jam ke lokasi.

Di desa ini, ada Ponpes Daarul Ishlah Assyafiiyyah. Ahad kemarin saya diminta mengisi motivasi bagi wali santri dan wisudawan-wisudawati dalam Haflah Akhirussanah. Mereka lulus Madrasah Diniyah Wustho (Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah Wustha) dengan spesialisasi penguasaan Fathul Mu'in dan hafalan Nadzam Imrithi.

Tahun ini, mereka semua melanjutkan ke Madrasah Diniyah Ulya (PKPPS Ulya) yang baru berdiri. Target lain, 3 tahun mendatang mereka bisa melanjutkan kuliah di kampus Islam/umum, atau sekalian lanjut ke Ma'had Aly yang lima tahun mendatang ditargetkan berdiri.

Pondok ini didirikan oleh suami istri alumni INAIFAS Kencong, Jember. Namanya Kiai Mushofa bin Badrus. FB-nya Kang Shofa. Masih muda, kelahiran 1983, tapi punya ilmu tua dan pengalaman yang berjibun. Asalnya dari Karangrejo Gumukmas, Jember. Pada tahun 2002 masuk di INAIFAS dan lulus pada tahun 2008. Saat kuliah penuh perjuangan, ngontel dari rumah ke kecamatan lanjut ngebis pulang-pergi ke kampus. Beliau menjadi aktivis PMII dan IPNU, juga Pramuka.

Agar bisa membayar kuliah, Kiai Mushofa ini juga mengajar di SDNU Karangrejo 1, MIMA Karanganyar 1, dan MTs Darul Ulum Karanganyar, semua sekolah tersebut terletak di Jember. Bisyarah yang diterima beliau tabung, lalu untuk membayar kuliah. Berkat kegigihannya, dia lulus dengan predikat cumlaude.

Istri Kiai Mushofa, Mbak Umi Latifah, berasal dari Paseban, Kencong Jember. Dia merupakan adik kelas Kiai Mushofa di kampus, tidak hanya mendapat ilmu dan pengalaman beliau juga mendapatkan jodoh di bangku perkuliahan. Keduanya menikah tahun 2008, dan dikaruniai anak dua tahun setelahnya.

Saat si bayi berusia 6 bulan, pasangan ini nekat berangkat merantau ke Kalsel pada tahun 2010. Kabupaten Tanah Bumbu, Kec. Sungai Loban, tepatnya di Desa Batu Meranti, menjadi persinggahannya.

Di Desa Batu Meranti inilah, keluarga kecil ini mengontrak bangunan warung ukuran 4x6 milik warga di komplek pasar Batu Meranti. Untuk menafkahi keluarga, Kiai Mushofa berjualan pentol keliling, kalau malam berjualan bakso. Pernah pula berdagang sate dan kadang-kadang melayani katering, dan kerjaan lain. Beliau memang sosok yang pekerja keras.

Walaupun baru setahun, tapi beliau mulai diminta untuk mengajar ngaji ibu-ibu. Gaya ngajinya luwes dan santai, tematik berkisar keseharian masyarakat. Karena di wilayah tersebut mayoritas adalah keturunan Jawa sehingga beliau mengajar ngaji menggunakan Bahasa Jawa.

"Mereka adalah para transmigran yang menempati lahan ini sejak tahun 1980-an. Meski banyak yang prihatin di awal, kini banyak dari mereka yang secara ekonomi berhasil, baik dari perkebunan karet, kelapa sawit, maupun batubara," kata Kiai Mushofa.

Walaupun sudah sering mengisi khutbah Jum'at, ceramah dan ngaji keliling di berbagai desa, Kiai Mushofa tetap jualan pentol keliling. Usaha baksonya semakin laris, sehingga beliau membuka kios bakso.

Ketika ada ustadz dari kelompok sebelah ceramah dengan provokatif soal furuiyah, larangan tahlilan, dzikir bersama, maulidan, dan bahkan mengejek talqin jenazah, Kiai Mushofa lantang membela. Dia menyampaikan hujjah di beberapa pengajian kelilingnya. Tak disangka, ternyata pemilik kios yang dia sewa merupakan pendukung ustadz sebelah. Beliau pun diusir.

"Nelongso tenan!" (sengsara sekali) katanya terbahak mengingat masa lalunya.

Akhirnya Kiai Mushofa membeli sepetak tanah berukuran 13 x 15 m, dengan harga 13 juta yang diambil dari tabungan yang dimiliki. Agar hemat, beliau membangun sendiri rumah sederhana menggunakan kayu bekas. Di situlah beliau tinggal, rumah kecil sekalian dijadikan warung bakso.

Tahun 2013, beberapa sesepuh desa yang sebagian juga alumni pondok pesantren di Trenggalek, sepakat mendorongnya mendirikan pondok pesantren. Beliau pun diberi wakaf berupa tanah rawa, dan membangun asrama santri yang masih berbentuk gubuk sederhana, bukan permanen. Jumlah santrinya juga baru 11 anak, mereka semua dikader hingga hafal Nadzam Alfiyah Ibni Malik. Lima orang melanjutkan kuliah, dua orang memilih bekerja di pertambangan.

"Sedangkan yang empat orang saya jadikan guru TPA di wilayah Kampung Hindu, untuk mengajari anak-anak muslim. Di situ ada 22 KK. Mereka ini yang menjaga semangat keberislaman warga," ujar Kiai Musthofa.

Tahun 2014, jumlah santri mulai bertambah dengan berbagai macam kalangan, ada juga preman insaf yang mau mondok, tubuhnya penuh rajah tato. Selama enam bulan dia diajari ibadah dasar oleh Kiai Mushofa, bahkan kemudian dicarikan jodoh sekaligus dinikahkan. Ada juga pecandu narkoba yang berhenti setelah mondok di sini selama setengah tahun. Kiai Mushofa pula yang mencarikan jodoh dan dapat mertua dari desa sebelah.

"Gara-gara ini saya dianggap masyarakat bisa nyuwuk dan mengobati pecandu narkoba. Padahal ya nggak juga," katanya merendah.

Mayoritas santri di pondok ini rata-rata anak atau cucu dari para transmigran Jawa. Karena merasa senasib sepenanggungan sebagai pendatang, para wali santri pun ikut membangun pondok. Ada yang menyumbang material, semen, keramik, menyewakan buldozer untuk meratakan dan memadatkan tanah, hingga menyediakan konsumsi bagi para kuli bangunan. Akhirnya pondok semakin berkembang, musala dan asrama santri sudah berupa bangunan permanen. Demikian juga gedung madrasah diniyah.

Kini sudah ada 86 santri, yang sudah mendaftar sebagai santri baru sekira 50 remaja. Inipun ada kemungkinan terus bertambah.

Ponpes Darul Islah Assyafiiyyah usianya memang terbilang masih muda, yaitu delapan tahun. Pengasuhnya pun masih muda. Tapi ini justru menjadi kelebihannya, muda, lincah, dan visioner. Cita-cita Kiai Mushofa yang disampaikan ke saya, malam Ahad kemarin, adalah merintis Ma'had Aly. Jika tidak takhassus tafsir, mungkin fiqh. Tergantung perizinan dari Kemenag RI.

Lahan untuk Ma'had Aly sudah ada, tanah wakaf dari seorang pengusaha. Luasnya 5 hektar, sebagian sekitar 3 hektar, ditanami kelapa sawit dan pohon jati. Hasilnya panen sawit lumayan, bisa membeli material untuk membangun asrama santri.

Semoga cita-cita beliau dikabulkan oleh Allah. Sehat selalu, Mas Kiai.

Oleh: Rijal Mumazziq Z


Editor: Daniel Simatupang