Jangan Menimbulkan Bahaya dan Membahayakan

 
Jangan Menimbulkan Bahaya dan Membahayakan
Sumber Gambar: Menimbulkan Bahaya dan Membahayakan (Foto ist)

Laduni.ID Jakarta - Di musim wabah yang masih melanda ini, umat Islam tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Hal itu sesuai anjuran Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Kerusakan yang terjadi  timbul akibat perbuatan manusia, yang menyeleweng dari norma dan nilai yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Tindakan manusia yang mengakibatkan kerusakan tersebut, berasal dari kecenderungan manusia untuk membahayakan sesama manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya, adalah melanggar aturan pshycal distancing saat wabah pandemi, tidak memakai masker, cuci tangan dengan air mengalir atau sanitizer dan lain lain merupakan tindakan yang bukan hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang banyak.

Baca Juga: Bahaya Berdalil Tanpa Ilmu

Riwayat dari Sa'id ibn Malik Sinan al-Khazraji al-Khudri atau Abu Said al-Khudri Radhiyallahu Anhu (612 -  693 M, Madinah) : Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

عَنْ  أَبِـيْ  سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ. مَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه.

“Tidakboleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Siapapun yg membuat suatu bahaya maka Allah akan membalasnya, dan siapapun membuat  kesulitan atas orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.” (HR. Imam Malik, Imam Ad-Daruquthni, Imam Al-Hakim dan Imam Al-Baihaqi rahimahumullah).

Hadits riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu tsb di atas, memiliki beberapa penguat dari sejumlah Sahabat perawi hadits, diantaranya:

1. Abul Walid Ubadah bin ash-Shamit bin Qais al-Anshari al-Khazraji atau Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu Anhu (586 - 655 M, Ramla, Israel). Hadits riwayat Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini atau Imam Ibnu Majah rahimahullah (824 - 19 Februari 887 M, Qazvin, Iran).

2. ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu (619 -  687 M, Ta'if), hadits riwayat Imam Ibnu Majah rahimahullah.

3. Abu Hurairah, Jabir bin ‘Abdillah, Tsa’labah bin Abi Malik al-Qurazhi, Abu Lubabah, dan Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhyallahu 'anhum.

Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 1277 M di Nawa Syuriah) dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyyah menilai hadits tsb hasan atau kuat  berdasarkan jalur2nya serta disetujui pula oleh Abdurahman ibn Syihab al Din Ahmad ibn Rajab ibn Abd al Rahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abi al Barakat Mas’ud al Hafidz Zain al Din Abu al Faraj al Baghdadiy al Dimasyqiy al Hanbaliy atau Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah (4 November 1335 - 14 Juli 1393 M Damaskus) dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam.

Baca Juga: Ujicoba Wifi: Berbahaya bagi Kesehatan Manusia

Dharar dan Dhirar

Secara garis besar ada dua kata dalam kaidah fikih diatas, yaitu “Dharar” dan Dhirar”. Secara etimologis, kata dhirar berbeda dengan dharar. Meskipun memiliki derivasi yang hampir sama. Dalam kamus Bahasa arab, kata Dharar itu berarti kerusakan yang tidak disengaja, sedangkan dhirar itu berarti ada kesengajaan.

Kata “Dharar”, menurut bahasa adalah lawan dari bermanfaat, dengan kata lain tidak bermanfaat, atau bahkan dapat mendatangkan bahaya atau mudharat jika dikerjakan, baik kepada dirinya sendiri, ataupun kepada orang lain.

Menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah, hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dgn batas batas tertentu.

2. Menurut Abu Bakar Ahmad Ibn Ali Al-Razi atau Abu Bakar Al Jashas al-Hanafi rahimahullah (wafat 370 H / 980 M Baghdad) mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.

3. Menurut Imam Abu al-Barakat Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Adawiy al-Malikiy al-Khalwatiy atau Imam Ad Dardiri rahimahullah (1127 - 1204 H / 1715 - 1786 M), “Dharar" ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.

4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.

5. Menurut Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari atau Imam Asy Suyuthi rahimahullah (849 - 911 H / 1445 - 1505 M di Kairo Mesir) , “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Baca Juga: Ternyata, Rutin Minum Es Berdampak Jauh Lebih Berbahaya dari Rokok

Jadi, Dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yg sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang. Maka, berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

Secara sederhana, maksud dari Darar adalah menimbulkan kerusakan pada orang lain secara mutlak. Sedangkan dhirar adalah membalas kerusakan dgn kerusakan lain atau menimpakan kerusakan pada orang lain, bukan karena balas dendam yang dibolehkan.

Kata “Dhirar” menurut bahasa adalah balasan yg sengaja dilakukan sebagai balasan atas kemudharatan yg menimpanya. Dengan kata lain dia membalas atau menimpakan kemudharatan kepada orang lain, sesuai dengan kemudharatan yg menimpa dirinya.

Meski sama sama berpengaruh buruk kepada orang lain, keduanya dilarang oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Namun, Dhirar lebih kuat dampaknya, daripada dharar.

Sedangkan kita semua mengetahui, bahwa kata “Mudharat” itu sendiri menurut bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya.

Jadi secara garis besar kaidah fikih ini melarang segala sesuatu perbuatan yang mendatangkan mudharat/Bahaya tanpa alasan yang benar, serta tidak boleh membalas kemudharatan/bahaya dengan kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.

Baca Juga: Bahaya Virus Rubella Serang Wanita Hamil di Masa Pembentukan Janin

Dalam hal ini umat Islam, tidak hanya dituntut berbuat baik dan terbaik bagi diri kita sebagai wujud laku kesalehan individual, tapi juga untuk berbuat baik dan terbaik bagi orang lain yaitu kesalehan sosial.

Makanya harus patuh dan ridho mengikuti protokol kesehatan, karena dalam kenyataannya ada yang tertular dan tentu ada yang menularkannya. Untuk itulah kita menghindari wabah itu, Islam mengajarkan bagaimana cara menyikapi terjadinya pandemi.

Wallahu a'lam
---------
Oleh: Al-Faqir Gus Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik)
Editor: Nasirudin Latif