Gus Baha: Istri itu Bukan Mahram, kalau Mahram tidak Boleh Ditiduri

 
Gus Baha: Istri itu Bukan Mahram, kalau Mahram tidak Boleh Ditiduri
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Orang yang tidak boleh dinikahi oleh para ahli Fiqh disebut mahram, ciri utamanya adalah bila dipegang tidak membatalkan wudhu. Jadi jika seseorang masih dalam keadaan menjaga wudhu lalu ia menyentuh bibinya atau keponakannya, maka hal tersebut tidak membatalkan wudhu.

Sangat berbeda dengan yang Namanya ajnabiyah, secara sederhana disebut dengan orang lain/bukan mahram, seseorang yang boleh dinikahi. “Sehingga disebut dengan ajnabiyah,” kata Gus Baha dalam salah satu pengajiannya.

“Jadi saya menikah dengan istri saya, maka istri saya disebut ajnabiyah. Berhubung ajnabiyah, maka bila menyentuh istri bisa membatalkan wudhu sebab bukan mahram. Tapi orang Indonesia itu lucu, mereka mengira kalau sudah menikah, maka namanya keluarga, berarti mahram. Istri itu bukan mahram. Kalau mahram, maka tidak boleh ditiduri. Iya kan? Yang membuat dia boleh dinikah itu karena dia orang lain (ajnabiyah),” kata Gus Baha.

Oleh karena itu, tidak apa jika seorang (suami) mempunyai uang yang banyak dan pasangan (istri) tidak mengetahuinya, sebab statusnya adalah ajnabiyah atau orang lain. Namun, tanggung jawab untuk menafkahi harus tetap berjalan. Sebab seorang laki-laki telah mengambil semua tanggung jawab tersebut dari orang tua pihak perempuan saat pengucapan ijab qabul berlangsung.

“Tapi orang zaman sekarang salah kaprah, mereka menganggap derajat istri di atas anak. Bapak selalu mengajari saya, ‘Kamu harus lebih sayang anak dibanding istri. Seorang istri bila dicerai, dia menjadi orang lain, ditinggal mati pun tetap orang lain. Sedangkan anak tidak bisa kamu cerai.’ Sehingga ajaran itu saya teruskan,” dawuh Gus Baha.

Orangtua hendaknya harus siap dan rela untuk mengalah demi sang anak, terkhusus jika sang anak melakukan suatu yang keliru. “Berulang kali saya mengalami kejadian seperti ini, anak saya kalau mandi, pasti sabunnya nyemplung ke bak mandi. Lalu ibunya marah. Setelah dipikir, kalau sabun itu nyemplung, bak mandi kan jadi wangi, biasa saja. ‘Sudah saatnya dikuras. Ya sudah, saya yang kuras.’ Yang jelas itu tidak salah. Yang salah itu kalau dia mencuri, itu baru salah,” kata Gus Baha

Gus Baha juga menjelaskan bahwa anak adalah hasil buah cinta dari kedua orangtuanya. Jika kedua orangtuanya berpisah, maka status dari keduanya adalah orang lain. Namun, jika anak dan orangtua berpisah karena hak asuh, dsb) maka hubungannya tetaplah anak dan orangtua, tidak ada mantan anak ataupun mantan orangtua, yang ada hanyalah mantas istri dan mantan suami.

“Lah, kalau sama-sama sepakat untuk membela si anak, berarti sepakat. Ibunya tidak akan marah, karena itu anaknya. Bapaknya pun tidak marah, karena itu anaknya. Maka anak akan mendapat limpahan kasih saying,” pesan Gus Baha.

Jika seseorang menggunakan teori sebaliknya yang mengatakan bahwa “istri juga mahram”, maka anak akan diperebutkan oleh kedua belah pihak. Baik ayah ataupun ibunya akan memarahi anak ketika berdebat dengan salah satu diantaranya. Sehingga bepotensi anak tidak mendapatkan kasih sayang sepenuhnya.

“Makanya Imam Syafi'i berpendapat, bahwa menyentuh istri bisa membatalkan wudhu. Karena berstatus ajnabiyah (orang lain). Tapi ada Ulama lain berpendapat, bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudhu. Alasannya, karena yang membatalkan wudhu hanyalah jika bersetubuh. Itu Mazhab Maliki. Dan itu bukan hanya istri, orang lain pun bila kita sentuh, tidak membatalkan wudhu. Tapi tetap haram. Karena dia orang lain,” kata Gus Baha.


Editor: Daniel Simatupang