Kemampuan dan Kepekaan Pergaulan Sosial

 
Kemampuan dan Kepekaan Pergaulan Sosial
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Kemampuan penyesuaian sosial yang sehat terhadap lingkungan merupakan salah satu prasyarat penting bagi terciptanya kesehatan jiwa atau mental individu.

Seseorang, yang memiliki kematangan emosional dan spiritual, serta dukungan sosial yang baik, maka akan memiliki kecenderungan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya dengan baik pula. Sehingga, semakin baik kematangan emosi, spiritual dan dukungan sosial yang dimiliki individu, maka akan semakin tinggi ia dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik, juga sebaliknya apabila individu kurang dalam memiliki kematangan emosi, spiritual dan dukungan sosial, maka ia cenderung memiliki penyesuaian sosial yang rendah.

Perkembangan umur seseorang, seringkali jadi penanda kedewasaan berpikir, juga bersikap. Sering kali pula, kecerdasan pikiran tak seiring kematangan jiwa bestari seseorang. Letupan-letupan emosional ringan, sering tiada terkontrol mudah meruahkan amarah. Jadi, kecerdasan yang dimiliki seseorang, sering kali ringkih lemah dan rapuh saat hasrat amarah, tak bisa dibendung yang hadir bersama kata-kata. Bahkan, bisa hadir dengan sikap sombong, anti-kritik, atau arogansi bersikap. Semua ini, lebih mungkin dihadirkan pada mereka yang punya “modal”, semisal kecerdasan, ilmu, nasab, status sosial dan kekayaan jabatan.

Perkembangan umur seseorang dan kapasitas kecerdasan sosial dan spiritual yang dimilikinya, mestinya bisa beriringan. Kalaupun pernah mengalami kontroversi, ini bukan selalu akhir perjalanan seseorang. Siapa tahu, sekadar minimnya informasi. Atau ingin mencuri sensasi, sebagai tipikal gairah usia muda khususnya para peniti ilmu.

Nah, yang repot kalau usia sudah uzur, tapi masih setia memerlukan sensasi ataupun kontroversi agar diperhatikan kepentingannya. Padahal, ujaran-ujaran semacam itu, hanya merendahkan bobot kecerdasan sejati yang dimilikinya.

Faktanya, hari ini banyak orang yang mendakwa diri sebagai pengamat atau kaum akademisi dan agamawan, tetapi mudah "asbun", dalam mengulas sesuatu, termasuk bicara agama. Berkomentar asal, demi salurkan dengki atau ego-kelompok. Asalkan dengki punya celah penyaluran, kata-kata merusak pun diumbar. Akal dan kesadaran posisinya, diruntuhkan olehnya sendiri. Hanya oleh kata dalam cuitan sebagai responsifitas atas kedangkalan jiwanya.

Kita harus punya nilai positif dalam kehidupan, yang memberi manfaat baik bagi diri dan orang lain. Nilai seseorang, menurut ahli hikmah, bergantung kematangan jiwanya. Jika jiwa yang bersemayam dalam dirinya sudah matang, tinggilah nilai dirinya.

Perlu diketahui, bahwa kematangan jiwa seseorang, tidak diukur dari sekedar kerapian, ketelitian, kewaspadaan dan ketenangan semata. Kematangan jiwa, diukur salah satunya dari kemampuan bersikap wara’. Secara sederhana, wara’ adalah sikap mental yang menghambat dari tindakan maksiat. Secara kompleks, wara’ adalah kemampuan memilah sikap-sikap yang harus diambil dan tidak dengan berlandaskan pada khasy-yah dan khauf kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dengan harapan bisa terbebas dari potensi maksiat yang disadari atau tidak.

Wara’ diambil dari kata yang terdiri dari huruf waw, ra, dan ain yang berarti 'menahan', 'mengepal'. Menurut bahasa, wara’ adalah menjaga kesucian, yaitu menahan diri dari yang tidak pantas. Maka dikatakan tawara’ jika seseorang merasa sempit.

Sedangkan, menurut istilah syariat, wara’ adalah meninggalkan yang meragukan, menentang yang membuatmu tercela, mengambil yang lebih terpercaya, mengarahkan diri kepada yang lebih hati-hati.

Tanpa wara’, besar potensi kita mudah terperangkap bujuk rayu syaithan. Tanpa wara’, kita akan mudah terjerat nafsu syahwat. Tanpa wara’, kita akan mudah terperosok dalam jurang maksiat. Tanpa wara’, kita menjadi sangat jauh dari kedewasaan. Tanpa wara’, semua aturan Allah subhanahu wa ta'ala, menjadi sangat terasa berat dan menyusahkan. Tanpa wara’, kita menjadi sangat sulit mengambil sikap bahkan cenderung salah sikap, dalam kehidupan sosial beragama yang beragam karakter manusianya.

Tanpa kesadaran dan pembelajaran, karakter wara’ sulit dimiliki orang-orang yang terbiasa berperilaku sembrono (tasahhul) dan mengabaikan sinyal-sinyal nurani. Nurani yang masih bersih dan terjaga agar tetap jernih, akan memperingan kerja otak dalam menilai dan mengambil sikap.

Nurani yang diabaikan dalam sikap kehidupan, akan kehilangan powernya, sehingga manusia akan mudah berubah, laksana satwa pemangsa segala. Oleh karena itu, perlu menjalankan tuntunan Islam bagi kita, untuk mencapai kehormatan akhlak yang tinggi dan martabat yang mulia tersebut, maka hendaknya kita sangat peka, terhadap keputusan nurani yang sejuk dan tunduk. Kita tidak akan bisa mengesampingkan fungsi nurani, karena nuranilah yang membantu kita bersikap wara’ dan kita pun menjadi pribadi yang berjiwa matang.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ

“Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan qalbu merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan qalbu tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang2 yang terfitnah memberikan berbagai komentar kepadamu.” (HR. Imam Ahmad Bin Hambal rahimahullah dan Imam ath-Thabarani rahimahullah)

عن النَّوَاسِ بنِ سَمْعانَ قال سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يُطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

An-Nawas bin Sam’an Al-Kilabi Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku pernah bertanya kepada Nabi salallahu ‘alayhi wa sallam tentang kebaikan dan dosa.” Beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa itu apa yang mengkhawatir jiwamu dan engkau tidak suka hal itu diketahui oleh orang-orang.” (HR Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hambal, Imam at-Tirmidzi dan Ad-Darimi rahimahumullah)

Nawwas bin Sam’an bin Khalid bin Amr Al-Amiry Al-Kulaby radhiallahu anhu. Adalah Shahabat Nabi, yang berasal dari negeri Syam, datang menghadap Nabi Muhammad salallahu ‘alayhi wa sallam bersama bapaknya. Lalu tinggal di Madinah selama setahun untuk mendalami agama. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 17.

Itulah, faktualitas yang dihadapi manusia, di tengah dunia yang makin riuh. Maka, konteks spiritualitas-religius mengajak orang untuk kembali merenung dan mencari keheningan dalam diri dan membawa nilai-nilai hidup yang lebih bermakna.

Secara teoritis kita sudah mafhum, bahwa manusia sebagai makhluk psikologis, sosial, dan spiritual. Sementara tak sedikit para psikolog yang percaya bahwa kecerdasan spiritual adalah faktor yang paling berperan penting bagi kesehatan mental dan sosiabilitas seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Kecerdasan spiritual adalah jenis kecerdasan yang erat kaitannya dengan kemampuan spiritual yang membantu seseorang untuk hidup lebih baik. Memiliki kemampuan ini, memungkinkan kita untuk menyatukan spiritualitas, kehidupan batin (inner life), dan kehidupan di luar dirinya (outer life). Sehingga mampu mengaplikasikan secara nyata, keterkaitan antara kecerdasan spiritual dan kehidupan sosial yang lebih baik.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Ahmad Zaini Alawi


Editor: Daniel Simatupang