Renungan Jumat: Upgrading dari Shalih menjadi Muslih

 
Renungan Jumat: Upgrading dari Shalih menjadi Muslih
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Orang yang baik namanya shalih, sedangkan orang yang melakukan perbaikan namanya muslih. Bedanya, shalih itu bersifat individualistik sedangkan muslih bersifat sosial kemasyarakatan. Tatkala shalih sibuk memperbaiki diri sendiri, maka muslih sibuk memperbaiki orang lain. Secara hirarkis, tentu kedudukan muslih lebih tinggi daripada orang yang shalih. Ada pepatah mengatakan, “Bila ingin dipuji jadilah orang shalih, jangan jadi orang muslih”.

Hal ini senada dengan ucapan arab:

الصالح تحبه الناس و المصلح تعاديه الناس

"Orang baik (shalih) dicintai manusia, sedangkan penyeru kebaikan (muslih) dimusuhi manusia."

Orang baik (Shalih) hanya akan membuat pribadi dirinya saja menjadi baik tanpa berfikir mau memperbaiki orang lain. Ia cuek dan masa bodoh dengan urusan orang lain. Secara pasti kebaikan diri tidak ada pengaruh pada kepentingan orang lain. Orang lain akan melihat kebaikan yang ada pada dirinya, namun perihal kerusakan yang dibuat orang lain bukanlah termasuk urusan orang berkepribadian Shalih.

Ketika seorang naik menjadi mushlih (melakukan perbaikan), maka tingkatan ini akan menemui berbagai macam keinginan untuk memperbaiki yang sering berbeda dengan orang lain.

Ingatlah, ketika Nabi Muhammad SAW sebelum diutus menjadi Rasul, beliau menjadi orang yang disanjung oleh semua orang Quraisy dan lainnya dengan kebaikan diri dan keindahan akhlaknya. Namun pasca diutusnya menjadi seorang Rasul pada umur ke 40 tahun, orang-orang arab mulai membenci bahkan menuduh beliau gila dan tukang sihir.

Hal ini merupakan kondisi umum yang kerapkali terjadi pada setiap yang melakukan perbaikan (Muslih).

الحبيب المصتفى صلى الله عليه وسلم قبل البعثة أحبه قومه لأنه صالح، ولكنه لما بعثه الله تعالى صار مصلحا فعادوه وقالوا ساحر كذاب مجنون

Artinya: “Rasulullah Muhammad SAW sebelum diutus menjadi Rasul, beliau dicintai oleh kaumnya karena beliau adalah orang baik (shalih), Namun ketika Allah SWT mengutusnya menjadi penyeru kebaikan, kaumnya menjadi memusuhinya dan mereka berkata, ‘Tukang sihir, pendusta dan orang gila.’”

Secara garis besar, seorang penyeru kebaikan akan menemui rintangan dan hambatan dakwah berupa kebencian orang sekitar serta berbagai macam lainnya. Namun dengan adanya penjelasan ini bukan sebagai penghalang kita untuk menjadi mushlih atau pribadi yang menyeru kebaikan, tetapi seharusnya hal ini menjadi motivasi diri untuk terus menjadi orang-orang yang bisa melakukan kebaikan diri serta perbaikan untuk orang lain.

Oleh: Rakimin Al-Jawiy – Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang