Antara Musik, Hukum dan Peradaban

 
Antara Musik, Hukum dan Peradaban
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Belakangan ini timbul respons atas maraknya sikap beragama kalangan tertentu (artis, musisi dan tokoh publik) yang menampilkan "kebaruan" beragama, berdasarkan perspektif hijrah. Kebaruan beragama yang dimaksud adalah seperti keinginan mereka hidup sesuai syariat Islam saat zaman Rasulullah SAW hidup. Kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis, adalah jargon fundamental dalam menghadirkan Islam sebagai agama yang tampak kaku dan keras. Prinsip pemurnian tauhid, bagi kalangan mereka adalah menjalankan agama seratus persen seperti zaman nabi masih hidup dan menyatakan konsistens atas syariat yang sudah jelas dalilnya. Menurut pandangan kelompok Wahabi, bahwa agama itu dasarnya adalah harus ada dalilnya yang sesuai persis dengan perilaku sang rasul.

Dalam catatan atas perilaku-perilaku beragama semacam itu, saya menangkap ada semacam kedangkalan paham agama, dan ada kekeliruan epistemologis ketika memahami agama harus seperti saat Rasulullah SAW masih hidup. Padahal hidup tetap mengikuti perkembangan zaman, beriringan dengan mengamalkan ajaran agama. Lalu di mana letak terpisahnya antar keduanya itu? Kita shalat apakah tidak sama dengan shalatnya Rasulullah, padahal shalat kita berdasarkan ilmu dan paham akan syarat-syarat dan rukunnya. Kita menjalankan syariat Islam sudah pasti sesuai tuntutan Rasulullah SAW, lalu dimanakah letaknya kita harus kembali ke Al-Qur'an dan Hadis, dan pada posisi apakah kita harus seperti zamannya beliau hidup?

Lebih spesifik adalah pembahasan soal musik. Masih banyak orang yang sinis mengenai hukum mendengarkan musik. Apakah lupa, ketika Rasulullah SAW memasuki kota Yatsrib (Madinah) disambut musik rebana, dan beliau tidak melarangnya setelah penyambutan itu. Bukankah pula Suku Badui di jazirah Arab gemar berdendang dengan syair-syair Arabnya dan beliau tidak pernah pula mengharamkannya.

Jika diamati lebih jauh. Bukankah musik bisa mempengaruhi jiwa kita tenang, terhibur, dan juga mampu menimbulkan semangat hidup. Jika pun ada musik yang lirik dan nadanya mengarah pada maksiat, tentu kita tidak menghukumi semua musik jadi haram. Itupun kalau dampaknya orang berbuat maksiat tidak lebih karena perbuatan orangnya yang memasukan unsur birahi atas lirik lagunya. Jadi, keumuman sesuatu tidak bisa digugurkan oleh yang khusus.

Dalam kaidah fiqih dikenal sebuah kaidah berikut:

اَلْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

“Hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya.”

Dalam sebuah kesempatan Hari Raya, di rumah Rasulullah SAW pernah ada pertunjukkan orang yang sedang mendendangkan syair-syair kebahagiaan. Ketika itu Sayyidah Aisyah merasa senadang dan terhibur, sementara ketika Abu Bakar datang dengan wajah yang tampak marah mempertanyakan hal itu. Akhirnya Rasulullah SAW membuka tirai dan mendekati Abu Bakar sambil berkata:

دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا

“Biarkan mereka berdua, wahai Abu Bakar! (karena) masing-masing kaum memiliki Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita. (HR. Bukhari dan Muslim).”

Syamsyuddin As-Syarbini pernah mengatakan:

الْمَعَازِفُ آلَاتُ اللَّهْوِ، وَمِنْ الْمَعَازِفِ الرَّبَابُ وَالْجُنْكُ (لَا) اسْتِعْمَالُ (يَرَاعٍ) وَهُوَ الشَّبَّابَةُ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ جَوْفِهَا، فَلَا تَحْرُمُ (فِي الْأَصَحِّ) ؛ لِأَنَّهُ يُنَشِّطُ عَلَى السَّيْرِ فِي السَّفَرِ (قُلْت: الْأَصَحُّ تَحْرِيمُهُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) كَمَا صَحَّحَهُ الْبَغَوِيّ وَهُوَ مُقْتَضَى كَلَامِ الْجُمْهُورِ وَتَرْجِيحُ الْأَوَّلِ تَبِعَ فِيهِ الرَّافِعِيُّ الْغَزَالِيَّ

“Al-Ma’azif adalah alat musik. Contohnya adalah ribab, hunuk, syababah (klarinet), dinamakan demikian karena bolong bagian dalamnya. Hukumnya tidak haram karena ia bisa membuat semangat ketika perjalanan dalam safar. (An-Nawawi mengatakan: yang sahih hukumnya haram, wallahu a’lam) sebagaimana juga dipilih oleh Al-Baghawi dan ini juga merupakan pendapat jumhur (ulama Syafi’i). Namun yang tepat adalah pendapat pertama, dan ini juga dipilih oleh Ar-Rafi’i dan Al-Ghazali.”

Imam Al-Ghazali tegas memfatwakan hukum musik sebagaimana berikut ini:

اِعْلَمْ أَنَّ قَوْلَ الْقَائِلِ السِّمَاعُ حَرَامٌ مَعْنَاهُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُعَاقِبُ عَلَيْهِ وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُعْرَفُ بِمُجَرَّدِ الْعَقْلِ بَلْ بِالسَّمْعِ وَمَعْرِفَةُ الشَّرْعِيَّاتِ مَحْصُوْرَةٌ فِي النَّصِّ أَوِ الْقِيَاسِ عَلَى الْمَنْصُوْصِ وَأعْنِى بِالنَّصِّ مَا أَظْهَرَهُ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِقَوْلِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَبِالْقِيَاسِ الْمَعْنَى الْمَفْهُوْمِ مِنْ أَلْفَاظِهِ وَأَفْعَالِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ نَصٌّ وَلَمْ يَسْتَقِمْ فِيْهِ قِيَاسٌ عَلَى مَنْصُوْصٍ بَطَلَ الْقَوْلُ بِتَحْرِيْمِهِ وَبَقِىَ فِعْلًا لَا حَرَجَ فِيْهِ كَسَائِرِ الْمُبَاحَاتِ.

“Ketahuilah, pendapat yang mengatakan ‘kegiatan mendengar (nyanyian, bunyi, atau musik) itu haram,’ mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut. Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan dalil aqli semata, tetapi harus berdasarkan dalil naqli juga. Jalan mengetahui hukum-hukum syara’ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan nash adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan qiyas adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah SAW itu sendiri. Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain.” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, juz 2, hlm. 268)

Syaikh Mahmud Syaltut, salah satu ulama yang pernah menjadi pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, dalam fatwanya menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, memang diperselisihkan. Tetapi semua alasan untuk melarangnya adalah selama tidak menimbulkan dampak negatif, dan jika itu terjadi maka tidak dapat dibenarkan.

Terkait hukum musik, memang masih khilafiyah. Ada yang mengharamkan, ada yang menghukumi makruh, juga ada yang menghukumi mubah (boleh). Intinya, jika musik tidak membawa seseorang berbuat dosa dan maksiat maka selama itu dihukumi mubah. Tapi sebaliknya bisa menjadi haram jika alat dan lagunya menjadi pengantar seseorang berbuat dosa.

Memang kita sedang berada dalam peradaban modern, tetapi tentu sikap beragama yang benar adalah dengan tetap berpegang teguh pada aqidah yang lurus, syariat yang benar, berakhlak yang baik. Namun demikian, harus juga terbuka pikirannya. Bahwa menjadi Muslim tidaklah harus dipersempit oleh khilafiyah atau perbedaan mengenai soal-soal furu'iyah, tetapi pada saat yang sama juga terkait dengan kepatuhan atas hukum sesuatu karena didasari fatwa yang lebih mu'tamad atau yang lebih shahih argumennya.

Dengan demikian, kita menjadi paham bahwa hidup di era modern itu tidak bisa menafikan kekhusyukan dan sekaligus kemudahan-kemudahan seorang Muslim dalam menjalankan ajaran agamanya, tanpa perlu ada perilaku-perilaku beragama yang mendasarkan pada "kebaruan" beragama dengan berkedok ingin menerapkan gaya hidup seperti di zaman Rasulullah SAW. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 14 September 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Hamdan Suhaemi

Editor: Hakim