Gus Nadir: Pahami Teks Suci dengan Sumber Sekunder, yaitu Ulama

 
Gus Nadir: Pahami Teks Suci dengan Sumber Sekunder, yaitu Ulama
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Memahami teks ayat al-Qur'an dan hadis itu harus hati-hati. Jangan seperti makan kacang goreng langsung kunyah dan telan. Penting memahami teks kitab suci dan hadis itu dengan membaca syarh (penjelasan) ulama.

Jika memahami teks kitab suci dan hadis langsung telen, godaannya itu besar. Anda akan mudah buat kesimpulan sendiri, dan dengan mudah terangsang dan tergoda untuk menyalahkan dan menghakimi orang lain. 

Setiap teks ayat suci dan hadis itu sudah dibahas oleh ulama baik terdahulu maupun terkini. Jadi gak sulit untuk mencari makna dan pesan sebenarnya dari setiap sumber kitab sharh dari itu. Kitab tafsir saja sangat banyak. Syarh hadis pun berjilid-jilid, jika Anda mau dari banyak ulama.

Seperti baru-baru ini ada netizen yang menposting video seorang santri membungkuk dihadapan kiainya. Itu kemudian dihakimi sebagai melanggar syariat karena dimaknai sama dengan menyembah kiai, dengan mengutip sebuah hadis.

Mestinya merujuk dulu pendapat ulama bagaimana pandangan mereka tentang hal ini. Jangan ujug-ujug "boom" bilang syirik. Dalam satu masalah, kebanyakan ulama ikhtilaf dalam menetapkan hukumnya. Maka, menyimpulkan sendiri tanpa melihat bagaimana sebelumnya ulama membahas itu bisa bikin repot.

Nah, ini penting diperhatikan. Untuk yang ingin memahami teks kitab suci dan hadis, ada dua cara. Baca langsung sumber utama, atau mulai dari sumber sekunder.

Sekarang tersedia dengan mudah teks asli sumber utama (al-Quran dan kitab-kitab hadis). Namun resikonya (kalau Anda bukan ulama), bisa cepat ambil kesimpulan seperti kasus di atas. Dan dikemudian hari setelah mengetahui pendapat ulama, baru mengetahui pendapatnya itu salah dan menyesatkan. Bahaya kan. Sebab untuk teks suci diperlukan ilmu lain setidaknya ilmu bahasa dan sejarah. Juga kesucian batin.

Namun sebaiknya mempelajarinya mulai dari sumber kedua sebelum ke sumber utama. Yakni dari kitab-kitab yang ditulis ulama yang menjelaskan tentang teks utama. Dengan begitu, kita pun memiliki komparasi karena ulama pun tidak selalu seragam memahami ayat atau hadist, karena bisa saja dipenuhi latar belakang budaya dan politik saat itu. Tapi tidak berarti sesat seperti orang awam yang melakukannya karena ulama melakukannya dengan ilmu. Dengan demikian, kita terhindar dari salah yang membahayakan dan menyesatkan.

Oleh: Gus Nadirsyah Hosen


Editor: Daniel Simatupang