Kisah KH. Abdul Hamid Pasuruan dan Seorang Pemuda

 
Kisah KH. Abdul Hamid Pasuruan dan Seorang Pemuda
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta - KH. Abdul Mu’thi atau yang biasa dipanggil dengan sapaan KH. Abdul Hamid Pasuruan merupakan seorang waliyullah yang masyhur pada masanya. Habib Umar Muthohar mengisahkan salah satu karomah beliau yang dapat mengetahui isi hati seseorang.

Habib Umar menjelaskan bahwa wali juga seorang manusia pada umumnya, butuh makan, tidur, bisa lelah, bisa marah, dan sifat lainnya yang terdapat pada manusia umumnya. Habib Umar juga menambahkan jika Kanjeng Nabi SAW juga seorang manusia biasa, namun karena beberapa keistimewaan yang diberikan oleh Allah, membuat Nabi berbeda dengan manusia pada umumnya.

“Wali juga manusia, Kanjeng Nabi juga manusia. Maka dikatakan, Muhammadun basyarun laa kalbasyari, Kanjeng Nabi Muhammad itu manusia, tetapi tidak seperti manusia biasa. Tidak seperti manusia, tapi manusia. Shollu 'Alan Nabi. Wali juga begitu, manusia yang diberikan kemuliaan oleh Allah. Kemuliaan itu namanya karomah. Tapi tetap bisa sakit, lelah, makan, minum, tidur,” kata Habib Umar dalam unggahan Youtube Ngaji Hijrah.

Mbah Hamid saat itu baru selesai mengerjakan wirid setelah Shalat Subuh, dan hendak beranjak menginggalkan masjid. Namun beliau melihat sudah banyak orang menunggu di teras rumahnya yang tak jauh dari masjid.

Karena saat itu Mbah Hamid sedang lelah, beliau mengahmpiri orang-orang tersebut sambal berkata, “Saya sedang capek, lelah, jangan salaman dulu. Sudah saya doakan, insyaallah berkah semua.”

Di antara banyaknya orang yang mengerti dengan kondisi Mbah Hamid, ada seorang anak muda yang tidak mengerti kondisi Mbah Hamid saat itu. Pemuda itu tidak mengetahui kesibukan Mbah Hamid dan tidak mengetahui tetang kehidupan beliau.

“Membela Tauhid sekaligus membela Kanjeng Nabi. Tidak hanya membela Tauhid saja, tetapi juga membela Kanjeng Nabi. Karena di mana ada Laa ilaha illallah, di situ ada Muhammadur rasulullah,” kata Habib Umar.

Pemuda itu berpikir bahwa seorang ulama memiliki kehidupan yang enak, “Enak ya menjadi Kiai, keluar masjid sudah ditunggu banyak orang. Kalau semua orang salaman dan setiap orang memberi amplop. Sudah berapa itu? Belum nanti di rumah. Tamunya banyak, setiap tamu salaman, diberi amplop, beras, rokok,” begitu pikirnya. Ia hanya melihat dari sisi materi, tanpa melihat sisi yang lain.

“Kenapa anak ini bisa berpandangan seperti demikian? Karena dia melihat segala sesuatu dari sisi materi, kacamatanya demikian. Orang melihat sesuatu itu tergantung kacamatanya. Kalau kacamatanya putih, melihat sesuatu sesuai dengan warna aslinya. Tetapi kalau dia memakai kacamata berwarna, melihat sesuatu seperti warnanya kacamata. Memakai kacamata kuning, gigi istrinya putih terlihat kuning,” kata Habib Umar.

Karena Mbah Hamid diberi ilham oleh Allah SWT, beliau dapat mengetahui isi hati orang lain. lalu dipanggillah pemuda tersebut oleh Mbah Hamid, “nak ke sini nak,” seru Mbah Hamid.

Pemuda itu lantas menghampiri Mbah Hamid dengan percaya diri, “Yang lainnya tidak boleh salaman, saya malah dipanggil. Berarti saya setengah Wali,” begitu piker pemuda tersebut.

Lalu Mbah Hamid menyuruhnya untuk istirahat di dalam rumah, “Kamu istirahat dulu di kamar, nanti saya ajak jalan-jalan.” Setelah itu Mbah Hamid juga pergi untuk istirahat.

Setelah mereka berdua istirahat, Mbah Hamid mengajak pemuda tersebut untuk berkeliling Kota Pasuruan. “Waktu itu, jalan belum sebagus sekarang. Sekarang sampai ke Desa-Desapun, jalan sudah bagus semua. Dulu, zaman Mbah Hamid sekitar tahun 1970an. Jalan masih banyak yang berlubang-lubang, tidak rata,” terang Habib Umar.

Sesampainya di suatu tempat, Mbah Hamid memerintahkan pemuda itu untuk membawa gelas berisikan air. Dengan tegas Mbah Hamid memerintahkan pemuda tersebut untuk berjalan di jalan yang bergelombang dan tak boleh ada air yang tumpah.

“Bagaimana nak?” tanya Mbah Hamid.

“Iya Mbah,” jawab pemuda itu.

Setelah menyelesaikan perintah dari Mbah Hamid, pemuda itu ditanya oleh Mbah Hamid, “kamu saya suruh menjaga gelas berisi air, lewat di jalan yang bergelombang, itu sulit atau mudah?” pemuda itu menjawab, “Sulit Mbah, tapi karena itu perintah, saya menjaga sekuat tenaga. Meski sudah saya jaga, masih ada yang tumpah. Yang awalnya penuh, sekarang sudah berkurang,”

“Kamu saya beritahu nak, para Kiai, para Ulama, para Sholihin, para Habaib itu menjaga kalimat Laa ilaaha illallah yang ada di hatinya masyarakat agar tidak lepas. Lebih sulit, daripada kamu menjaga air, agar tidak tumpah. Maka pikiranmu jangan hanya amplop, uang, rokok tidak beli, beras tidak beli. Ini tugas berat dari Allah S.W.T. menjaga dan membela kalimat Tauhid,” tegas Mbah Hamid Pasuruan.


Editor: Daniel Simatupang