Sosok Teladan KH. Ghazali Ahmadi di Mata Santri

 
Sosok Teladan KH. Ghazali Ahmadi di Mata Santri
Sumber Gambar: dok. pribadi/PP Zainul Huda

Laduni.ID, Jakart – “Abah” begitu saya memanggilnya, adalah sosok yang amat santun dan bersahaja. Kelahiran Dusun Arjasa Lao’ Desa Arjasa, Kabupaten Sumenep, Madura pada tanggal 04 Mei 1945 ini, dengan kealimannya yang ditopang keluasan dan kedalaman wawasan ilmu pengetahuan keislaman telah membentuk kepribadian Pengasuh PP Zainul Huda, senantiasa rendah hati dan menghormati sesama.

Tumbuh dalam keluarga yang besar sekali ghirahnya pada ilmu pengetahuan, merupakan salah satu faktor yang ikut melejitkan jalan baginya menjadi seorang ilmuan. Lebih dari itu, Abah adalah orang yang genius.

Salah satu kepiawaian Abah yang amat menonjol dan dikenal luas adalah di bidang Ilmu Fiqh dan Ilmu Nahwu (sependek yang saya tau). Karena itu, tak heran jika Abah Ghazali punyak generasi dan murid yang alim dan mumpuni "pakar" di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, dan Nahwu. Salah satunya adalah KH. Afifuddin Muhajir, Wakil Pengasuh PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Pepatah mengatakan:

 الثمرة لا تسقط بعيدًا عن الشجرة

"Bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya".

Pola pikir, dan tingkah lakunya tidak akan jauh. Keduanya, Abah dan Kiyai Afif murni jebolan Sukorejo.

Siapa sih yang tak kenal dengan Kiyai Afif, salah satu "Filsuf Sukorejo, Hujjatul as-Sukorejo", dan Sufi ini. Saya menyebutnya Filsuf, karena Kiyai Afif adalah seorang pemikir sejati, bahkan lebih dari itu. Sungguh naif rasanya kalau para pelajar dan pemikir Islam tak mengenalnya, apalagi Santri dan Alumni Sukorejo. Tulisan-tulisannya menyebar kemana-mana, ada Kritik Nalar Fikih NU, Fathul Mujib Al-Qarib Syarah at-Taqrib li Abi Syuja’, dan lain sebagainya.

Dalam banyak kesempatan, Abah sering menyatakan, untuk memahami teks (ayat, nash), tak cukup hanya mengandalkan kitab tafsir al-Quran semata, apalagi cuma merujuk terjemahannya saja. Telaahan dan kajian teks itu harus ditempuh dengan beragam metode pendekatan.

Ada Kajian Bayani, yaitu menelaah teks berdasarkan latar belakang sebab-sebab turunnya, baik yang bersifat makro terkait kondisi sosial budaya, sosial politik, sosial ekonomi, dan lain sebagainya, maupun yang bersifat mikro menyangkut kasus khusus yang menjadi penyebab langsung turunnya teks. Juga perlu ditelaah dari kaidah bahasa teks tersebut, dari sisi lafadz, makna, dan dalalahnya. Perlu pula mengaitkan teks yang sedang dikaji dengan teks lain yang berkaitan substansinya.

Selain itu, juga diperlukan upaya mengaitkan teks yang sedang dikaji dengan tujuan dan maksud penetapan syariat (maqashid as-syari’ah), baik tujuan dan maksud yang bersifat universal maupun partikular. Kajian Bayani ini juga bisa dilakukan dengan cara mentakwil teks, yaitu melakukan interpretasi suatu teks atau lafadz dari makna dasarnya yang jelas, hakiki, dan rajih (unggul), ke makna lain yang tersembunyi yang mengandung majaz (kiasan) atau yang lebih diunggulkan.

Sosok yang Humoristis

Pesan lugas, tegas, dan penuh gelak tawa "lucu" menjadikan banyak masyarakat mengidolakan Kiai satu ini. Gelak tawa tersebut bukan berarti tidak bermakna, tapi lebih kepada sikap yang diambil untuk metode pesan-pesan Islam Wasathiyyah (moderat). Wajah Islam beliau gambarkan menjadi sebuah kegembiraan, bukan Islam yang garang.

Beliau tak sekedar menerjemahkan Islam (dengan) taat kemudian mendapat surga dan neraka bagi yang tidak taat, akan tetapi Islam dalam kemanusiaan dan kegembiraan sebagai orang Muslim. Pendek kata "emansipatoris" yaitu memanusiakan manusia, membebaskan manusia dari perbudakan, menuntut persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria.

Meski ceramahnya berisi gelak tawa, sedikitpun tidak mengurangi isi dan pesan sebagai sebuah "Mauidzah Hasanah". Beliau mendasarkan diri bahwa Islam harus dikemas dalam bentuk yang baik supaya orang mengenal Islam dalam bentuk baik juga. Jika seorang Muslim selalu beringas dan menampilkan diri dalam bentuk anarkisme, maka citra Islam juga akan menjadi tidak baik.

Ini membuktikan bahwa, beliau berjalan untuk berdakwah tidak atas dasar orderan pujian manusia, tapi atas dasar kebenaran. Materi-materi kehidupan keseharian seringkali beliau gambarkan dengan suasana humor renyah untuk dikonsumsi orang awam maupun berpendidikan. Khas ceramah ini menjadikan beliau mempunyai tempat dihati para Jama'ah. Bahasa-bahasa yang beliau gunakan selalu mengena di hati Jama'ah dan selalu diiringi humor-humor yang bermakna.

Suluk Kepesantrenan

Suluk (metode, jalan) itu jalan kesempurnaan batin, tasawuf, dan ilmu. Mengasingkan diri, "berkhalwat" lima tahun lamanya untuk mendalami dan mendapatkan berbagai ilmu. Tak heran jika dawuh yang keluar dari Abah, saat saya pulang pondok, “Jekte serring bele cong oreng monduk, mon belea bila olle 3 taon ka 5 taon buro bele, mak olle alem,” (Jangan sering pulang kalau mondok, kalau sudah sampai 3-5 th dipondok baru pulang, nanti kamu bakal jadi orang alim).

Tak hanya itu, Abah juga dawuh, salah satu riyadah santri adalah taat pada peraturan pesantren (pesan ini bukan hanya satu dan dua kali disampaikan). Beliau tidak pernah mengesampingkan peraturan pesantren, karena justru itulah bagian dari tirakat dan riyadah santri. Tirakat tak selalu harus bermakna puasa. Bagi mereka yang tidak mampu menjalankannya, berlatih menaati peraturan pesantren sekaligus menjaga nama baik pesantren adalah bagian dari upaya untuk mengubah diri sendiri.

Jika peraturan pesantren dilanggar, maka aspek latihannya menjadi berkurang. Untuk menempuh riyadah secara maksimal, salah satu kuncinya adalah dengan "kesabaran total". Hal ini dicontohkan langsung oleh kepribadian beliau sehari-hari yang konon nyaris tidak pernah menampakkan wajah kusam atau marah.

Sabar adalah sesuatu yang memang sulit dilakukan. Sabar adalah saudara kembar Ikhlas. Tak heran lagi jika sabar menjadi syarat dan kunci kesuksesan. Syeh Az-Zarnuji di dalam kitab Ta'limul Muta'alim menuliskan syair indah dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, sebagai berikut:

الا لا تنال العلم الا بستة# سأنبيك عن مجموعها ببيان

ذكاء وحرص واصطباروبلغة #وارشاد استاذ وطول زمان

“Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu yang berkualitas kecuali dengan memenuhi enam syarat. Aku akan beritahukan semuanya secara terperinci, yaitu kecerdasan, kemauan yang kuat, kesabaran yang tinggi, biaya pendidikan yang cukup, adanya bimbingan guru, dan waktu yang lama.”

Sabar, ulet, rajin dan sungguh-sungguh اصطبار dalam mencari ilmu adalah kunci keberhasilan. Sabar dalam menghadapi ujian, kesulitan dalam memahami ilmu, dan sungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu. Sebagaimana sebuah ungkapan yang cukup populer dikalangan para santri:

من جد وجد

“Barangsiapa yang sungguh-sungguh ia akan dapat mewujudkan.”

Syeikh Al-Imrithy, berkata:

إذ الفتى حسب اعتقاده رفع # وكل لم يعتقد لم ينتفع

“Apabila seorang pemuda (pelajar) itu memiliki i’tikad (keyakinan), ia akan diangkat derajatnya. Barangsiapa yang tidak memiliki keyakinan, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa.”

Abah, beliau dikenal oleh banyak kalangan sebagai pengasuh yang lapang dada. Hampir tak pernah menunjukkan sikap tidak menerima atas yang apa dihadapinya sehari-hari. Hal ini pula yang membuat beliau seringkali menjaga diri untuk tidak berlebihan. Kesederhanaan dalam bersikap, berpakaian, dan bertutur kata sangatlah tampak dalam diri Abah Ghazali.

Kini, permata Fiqh Pesantren Zainul Huda, menantu andalan KH. Syarfuddin Abd. Shomad, telah pergi dengan tersenyum. Allah merahmatimu, Abah.

Oleh: Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang