Istiqomah Inklusif

 
Istiqomah Inklusif
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Saat sikap tertutup dan elitis, orang terkadang melihatnya sebagai yang terasing dari dirinya. Entah karena dipengaruhi karakter yang melekat atau karena doktrin, bahkan bisa jadi karena faktor harta dan tahta. Semakin di puncak posisinya, sikap itu semakin jelas nampak. Lalu apa arti sikap moderat ketika irisan sikap inklusivitas itu justru menipis, yang tebal malah sikap eksklusif.

Terlahir di tengah kemajemukan bangsa, tetapi sikap ekslusif menonjol untuk menampilkan sisi ke-aku-an sebagai manusia kuat (ubermeunch). Padahal sejatinya sikap inklusif jauh lebih menyatu dengan ritme dan nafasnya kebudayaan yang multikultural ini. Kenapa gejala itu (eksklusif) semakin banyak terlihat, ketika menjaga prinsip inklusif itu diartikan sebagai ketertinggalan, kemunduran, keterbelakangan.

Sikap inklusif dan terbuka ini penting dimiliki oleh kita semua, apalagi dalam kehidupan masyarakat yang sangat beragam. Sikap tertutup dan membatu pada diri sendiri tidak jarang melahirkan permusuhan yang lahir dari ketidaktahuan. Di tengah masyarakat yang sangat mudah tersulut api kebencian, inklusivisme bisa jadi adalah jalan keluar yang bisa mengurai berbagai konflik dan permusuhan yang menggejala di Indonesia saat ini (Kenneth Sultan: 2020).

Ada lima tipologi sikap keberagamaan, yakni “eksklusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme”. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain, dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol. Mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas (Komarudin Hidayat: 2012).

Sikap inklusivistik akan cenderung untuk menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap demikian akan membawa ke arah universalisme dari ciri eksistensial atau formal daripada isi esensialnya.

Suatu kebenaran doktrinal hampir tidak dapat diterima sebagai yang universal jika ia sangat berkeras mempertahankan isinya yang spesifik, karena pencerapan isi selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang toleran akan adanya tataran-tataran yang berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah dicapai. Sementara, suatu pola payung atau struktur formal dapat dengan mudah mencakup sistem-sistem pemikiran yang berbeda.

Terasa betul dalam berbangsa rakyat diminta untuk bersikap inklusif, tapi dalam praktik hidup sehari-hari, kaum kaya justru membangun eksklusivitas. Lihat saja hunian-hunian elite, tempat-tempat peristirahatan kaum berduit. Para pengembang kawasan elite terang-terangan dan bangga mengiklankan permukiman-permukiman eksklusif. Ia khusus, terpisah dari orang ramai, dari rakyat kebanyakan (Djadjat Suderajat: 2018).

Beberapa pandangan di atas menjadi indikator bahwa sikap moderasi beragama, moderasi berbangsa akan selalu mengambil sikap inklusivitasnya, bukan dengan ekslusif atau lebih kepada mengambil sikap fundamentalisme.

Lalu, bagaimana prinsip inklusif bisa bertahan dalam posisi ideologisnya? Tentunya harus melihat ke dalam, bahwa keragaman yang dimiliki kita, bangsa Indonesia, adalah ikatan batin dalam keterbukaan atas perbedaan. Sebab perbedaan adalah rahmat (kasih sayang untuk manusia).

Wa Allahu a'lam bi al-Showabi

Serang 3 Oktober 2021

Oleh: Hamdan Suhaemi – Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang