Pandangan Mahzab Kalam Asy’ariyah dan Al-Ghazali Mengenai Perbuatan Manusia

 
Pandangan Mahzab Kalam Asy’ariyah dan Al-Ghazali Mengenai Perbuatan Manusia
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Islam berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk dari ciptaan Allah. Manusia juga memiliki potensi yang bisa tumbuh dan dikembangkan, baik secara mental maupun fisik. Dalam kemampuannya yang dengan cara berfikir juga dari tindakannya itu bisa menunjukkan perbuatan manusia itu sendiri.

Perbuatan dalam diri seseorang (manusia) merupakan suatu kajian yang sangat menarik dalam kehidupan masa sekarang. Di mana, di masa sekarang banyak sekali perbuatan manusia jauh dari tata krama yang baik.

Maka, dalam perbuatan manusia tersebut para mutakallimin menjadikan perbuatan dalam fokus kajiannnya. Karena akan menjadikan manusia tersebut orang yang bertanggungjawab dalam perbuatannya, juga akan dikaitkan pada Allah SWT dalam hal kebebasaan yang diberikannya. Seperti halnya aliran Asy’ariyah.

Pandangan Aliran Asy’ariyah dan Pendangan Al-Ghazali

Dalam pembicaraan mengenai perbuatan manusia, ada satu aliran dari mutakallimin yakni aliran Asy’ariyah yang berpendapat bahwasannya, suatu tindakan dari manusia adalah Tuhan, dan manusia adalah tempat di mana Tuhan Bertindak. Dalam perbuatan manusia ini muncul karena perantara dari ciptaan Tuhan. Kekuasaan yang ada dengan perbuatan itu hanyalah untuk perbuatan yang bersangkuatan.

Suatu perwujudan sebuah perbuatan membutuhkan dua kekuatan, yakni kekuatan Tuhan juga kekuatan manusia. Namun, kekuatan yang sangat berpengaruh serta yang efektif dalam perbuatan adalah kekuatan dari Tuhan.

Sedangkan pendapat al-Ghazali, seorang tokoh Asy’ariyah mengenai kekuatan manusia ialah sifatnya lemah. Dalam keadaan tersebut menunjukkan bahwasannya manusia itu dianggap lemah, dan kekuasaan Tuhan mutlak berlaku pada perilaku manusia.

Oleh karena itu, perbuatan dari diri manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan, dan manusia adalah tempat di mana perbuatan Tuhan itu terjadi. Kuasa dan kehendak yang membawa perbuatan adalah kuasa serta kehendak Tuhan.

Al-Ghazali merupakan seorang tokoh terpenting dalam aliran Asy’ariyah. Al-Ghazali menjelaskan bahwa Tuhan itu memiliki sifat yang qadim yang berbeda dengan entitasnya, dan memiliki wujud selain dari entitasnya tersebut.

Al-Qur’an adalah qadim, bukanlah makhluk. Perbuatan Tuhan dan perbuatan manusialah yang menciptakannya. Ruyatullah bisa terwujud dikarenakan ada sesuatu yang berwujud nyata, tidak bisa diukur dari keadilan manusia, keadilan Tuhan, serta sifat Allah yang lainnya.

Dari pandangan Al-Ghazali terhadap masalah tersebut merupakan sebuah perbedaan antara Asy’ariyah dan juga Mu’tazilah, dan dalam perbedaan tersebut sangatlah mendasar. Al-Ghazali sendiri sependapat dengan Asy’ari.

Tuhan sendiri bisa juga menyiksa orang baik dan bisa memberikan upah pada orang-orang kafir, kalau dikehendakinya. Mengapa bisa begitu, karena Tuhan itu tidak ada keterikatan dengan norma, janji, keadilan maupun yang lainnya.

Al-Ghazali juga percaya bahwa hubungan antara sebab dan keyakinan biasa antara suatu hal itu tidaklah pasti, menetapkan salah satunya bukan berarti menyuruh yang lain, begitu pula sebaliknya. Karena semua berawal dari takdir Allah, kenyang bukanlah yang mutlak untuk harus dimakan, tapi Allah bisa juga mentakdirkan seseorang bisa kenyang tanpa harus makan.

Dalam surat Al-Buruj ayat 16, bisa mendukung dari pendapat aliran Asy’ariyah ini yang berbunyi sebagai berikut:

فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيْدُۗ

Artinya: “Maha Kuasa berbuat yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Buruj: 16)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwasanya kekuasan Tuhan maupun kehendak itu berlaku mutlak, karena jika tidak, maka bisa mengesankan bahwa Tuhan itu lemah. Tuhan itu mustahil jikalau mempunyai sifat yang lemah.

Balasan dan Keadilan Perbuatan Manusia di Akhirat

Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana balasan di masa yang akan datang (Akhirat). Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak memiki kewajiban, jadi hasilnya atas kehendak Tuhan yang mutlak. Hasil dari perbuatan manusia di dunia ini, pahala yang mereka dapatkan di kehidupan selanjutnya adalah dari kehendak Tuhan. Karena seseorang yang melakukan sebuah perbuatan manusia dengan sangat efektif ialah Tuhan.

Pendapat dari Asy’ariyah, manusia tidak memiliki kebebasan untuk melakukan sebuah perbuatan dan juga kehendak dalam keinginannya sendiri, karena manusia sendiri dianggap lemah. Dan manusia itu memiliki kelemahan yang sangat bergantung pada kehendak Tuhan.

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwasanya seorang muslim yang melakukan sebuah dosa, mereka layak disebut dengan sebutan fasik, serta apakah masih bisa diampuni? itu tergantung pada Allah SWT.

Jika seorang muslim yang ada dalam kumpulan orang-orang fasik, maka orang tersebut akan dilemparkan ke dalam neraka. Dan jikalau orang tersebut diampuni oleh Allah SWT, maka dia akan masuk surganya. Karena Asy’ariyah berpandangan, bahwa Allah itu tetap Adil.

Berdasarkan suatu pokok dari ajaran Asy’ariyah, maka di dalam ini ada suatu ciri yang bisa disebut menganut aliran dari Asy’ariyah yaitu:

1. Mereka dalam hal berpikir itu slalu disesuaikan dengan UU alam, serta mereka akan mempelajari ajaran tersebut.

2. Iman merupakan suatu kebenaran dari hati, amal perbuatannya suatu kewajiban dalam kebaikan, serta mereka itu tidak akan mengkafirkan orang yang berbuat dosa.

3. Konsep Asy’ariyah sendiri ialah kehadiran Tuhan yang letaknya pada kehendak mutlak.

Referensi:

Al-Ghazali. Al-Iqtshad fi al-I’tiqad, Taqdim, Ta’liq dan Syarah. terj. Abd al-Aziz Saif al Nashr. Cet. I. Cairo: t.p.

Hasyim, Muhammad Syarif. “Al-Asy’ariyah (Studi tentang Pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali), Jurnal Hunafa, Vol. 2, No. 3, Desember, 2005.

Supriadin. “Al-Asy’ariyah”, Sulesana, Vol. 9, No. 2, 2014.

Oleh: Nur Amalina Wafi’ Azizah, Mahasiswi Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang