Mengenal Teologi Rasional Harun Nasution dalam Hubungannya dengan Pendidikan dan Politik

 
Mengenal Teologi Rasional Harun Nasution dalam Hubungannya dengan Pendidikan dan Politik
Sumber Gambar: Buku Buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam/Aktual.com

Laduni.ID, Jakarta – Dalam kajian keislaman terdapat berbagai bidang ilmu dan pemikiran, salah satunya adalah bidang teologi. Pemikiran teologi pada saat ini telah banyak perkembangannya, salah satunya yaitu teologi modern, dan teologi rasional merupakan ciri dari teologi modern.

Salah satu tokoh teologi rasional adalah Harun Nasution, ia merupakan seorang pemikir rasional yang membawa pengaruh besar dalam khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Beliau telah mengupayakan dengan kemampuan intelektual yang ia miliki, agar teologi yang sebelumnya dianggap sebagai ilmu langit untuk dibumikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial. Harun Nasution memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern, karena ia memiliki konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian.

Harun Nasution memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern, karena ia memiliki konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian. Harun Nasution memiliki empat dimensi dalam hal ini yaitu pendidikan, politik, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Namun kali ini kita akan membahas dua dari empat dimensi saja, yaitu dimensi pendidikan dan politik, kenapa hanya membahas dua dimensi saja? Karena dua dimensi ini selalu menjadi topik yang hangat untuk dibahas.

Dimensi Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu aspek yang penting dalam penyebaran ilmu-ilmu keislaman ke dalam masyarakat. Pendidikan telah menjadi salah satu cara yang ampuh untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan banyak sekali hasil dari pemikiran tokoh filsafat klasik yang kemudian dikembangkan kembali melalui pendidikan.

Pendidikan Islam juga dikembangkan melalui proses tarbiyah oleh para Rasul, hingga ajarannya sampai untuk generasi sekarang ini. Dalam sejarah peradaban, manusia hanya pemikiran rasional yang mampu memajukan masyarakat. Pemikiran rasional ini yang mengembangkan berbagai teori pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi manusia dalam mengembangkan peradabannya. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana pemikiran filsafat Yunani, masih memberikan pengaruh besar dalam pengembangan masyarakat saat ini.

Menurut pandangan Harun, selama ini umat Islam belum menggunakan potensi pemikiran rasional dengan optimal. Pendidikan Islam pada dasarnya memasukkan dimensi agamis atau spiritual sesuai dengan esensi manusia dalam pandangan Islam.

Harun menjelaskan bahwa manusia memiliki dua dimensi yang saling berhubungan, materi dan immateril. Unsur materi memiliki dua daya, yakni daya rasa di materi dan materi. Unsur immateril memiliki dua daya, yakni daya rasa di dada dan daya pikir di kepala. Materi berasal dari tanah, sementara bagian immaterilnya akan kembali ke alam ghaib.

Dalam Islam ditekankan pendidikan yang berlandaskan pada “dada” (qalbiah) dan “kepala” (aqliah) sekaligus. Alquran dengan jelas menekankan pentingnya moralitas dalam kehidupan, seperti kemurahan hati, tolong menolong, hormat, berterima kasih, dan lain sebagainya. Inilah inti peradaban Islam, yakni bukan hanya pada akal pikiran dan rasionalitas tetapi pada akhlak dan budi pekerti mulia. Integritas pendidikan antara qalbiah dan ‘aqliah ini merupakan hasil pendidikan yang diwariskan Nabi serta sahabat.

Pada masa perkembangan Islam periode awal, pendidikan tidak dipisahkan menjadi pendidikan umum dan agama. Dalam Al-Quran juga tidak memisahkan antara pendidikan umum atau agama, sebab keseluruhan ilmu pengetahuan merupakan hal yang penting bagi umat, sehingga harus dipelajari. Menurut Harun Nasution, hal ini bukan keyakinan ulama dan umat Islam semata, beberapa orientalis juga mengatakan hal yang sama.

Harun Nasution menegaskan bahwa pendidikan harus seiring dan tidak terdapat dualisme seperti yang ada selama ini. Pendidikan integral menempatkan pendidikan agama pada kedudukan yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Keduanya merupakan bagian yang sama pentingnya. Jadi tidak tepat kalau di dalam pendidikan agama menomorduakan pendidikan sains, dan tidak tepat pula jika pendidikan sains diutamakan dan pendidikan agama dikesampingkan. Keduanya harus bisa berjalan berbarengan dan seiringan.

Dimensi Politik

Pembahasan masalah politik merupakan persoalan yang tidak ada habisnya dalam masyarakat Islam, baik dari sisi praktis maupun teoritis. Jika ditinjau dari sisi praktis, persoalan politik tidak memiliki konsistensi sejak zaman sahabat (khulafa’ al-rasyidin). Pemilihan Abu Bakar berbeda dengan Umar, Usman, dan lain lagi dengan Ali. Karenanya tidak ada konsep yang sama antara cendekiawan Islam tentang sistem politik dalam Islam. Masing-masing menafsirkan sesuai dengan pola pendekatan dan kepentingannya.

Munawir Sjadzali, seorang Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan (Era Presiden Soeharto), ia membagi aliran pemikiran politik dalam Islam dalam tiga bagian. Pertama, kelompok tradisional yang menempatkan Islam sebagai agama murni seperti yang dipraktekkan dalam kehidupan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin. Dalam pandangan kelompok ini, Islam tidak boleh mendirikan negara kecuali dalam bentuk pemerintahan yang pernah dijalankan sahabat, yakni kekhalifahan. Dan lebih jauh lagi kelompok ini menganggap apapun yang datang dari Barat adalah salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kelompok ini merupakan kelompok tradisional yang menganggap agama sebagai kebenaran turun-temurun yang tidak mengalami perubahan penafsiran.

Kedua, kelompok yang mencoba membatasi peran agama dengan peran umat sebagai warga negara dan politik. Dalam pandangan ini, agama ditempatkan pada posisi relasi vertikal dengan Tuhan semata. Artinya agama dan politik berada pada dimensi berbeda dan masing-masing berjalan sendiri. Kelompok ini beranggapan bahwa Islam sebagai agama bebeda dengan Islam sebagai peradaban dan kebudayaan.

Kelompok ketiga adalah mereka yang tidak sepaham dengan kedua kelompok di atas. Mereka menolak kelompok pertama. Dalam hal ini Islam yang digunakan bukanlah yang mengikuti ajaran Nabi, tetapi melakukan pola hidup yang dilandasi dengan nilai-nilai keagamaan. Walaupun dalam prakteknya tidak sama dengan apa yang diajarkan Nabi, namun dalam dimensi nilai itu semua merupakan ajaran Nabi.

Sementara itu mereka tidak setuju dengan kelompok kedua karena pemisahan yang ekstrim antara agama dan politik tidak mungkin dilakukan. Pemisahan seperti ini tidak mungkin dilakukan karena seorang individu tidak mampu mengelola dua jiwa yakni jiwa keagamaan dan paham politik yang dianutnya.

Pada akhirnya mereka menawarkan pemikiran integral, di mana pemikiran politik dilandasi oleh nilai-nilai agama. Yang artinya, kebijakan kenegaraan dan politik yang dijalankan oleh suatu negara tidak serta merta mengikuti seperti apa yang telah dijalankan oleh Khulafa’ Al-Rasyidin, namun tetap mengacu seperti yang berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia.

Cendikiawan Muslim Indonesia umumnya masuk dalam kategori ketiga. Nurcholish Madjid contohnya, ia memandang politik sebagai wadah partisipasi umat untuk menentukan jalan yang benar. Setiap umat harus berpartisipasi dalam pemerintahan sekecil apapun yang bisa dilakukan, karena itu merupakan bagian dari upaya dakwah dan implementasi syari’at dalam masyarakat.

Tokoh-tokoh Islam masa lalu di Indonesia telah memikirkan baik-baik bagaimana menempatkan Islam dalam tatanan dasar negara, sehingga apa yang lahir yaitu agama. Karenanya tidak ada alasan bagi masyarakat Indonesia untuk menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam.

Dalam hal ini Harun Nasution sebagai seorang cendikiawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas tampaknya juga sepaham dengan aliran yang ketiga. Hal ini dapat disaksikan dalam pemikiran Harun Nasution tentang politik dan negara. Mengenai relasi agama dan negara, Harun mengambil contoh Indonesia. Menurut pandangan Harun, Indonesia merupakan negara yang memegang asas-asas bagi sebuah negara Islam dan dasar negaranya juga tidak bertentangan dengan ajaran pokok dalam Islam.

Sumber:

Kuntowijoyo. Pemikiran Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 2001

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 2000

Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1994

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993

Oleh: Amirah Dzaky Ilma, Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabay


Editor: Daniel Simatupang