Peran Pemikiran Zuhud Ala Imam Al-Ghazali pada Masa Kini

 
Peran Pemikiran Zuhud Ala Imam Al-Ghazali pada Masa Kini
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Sebelum saya membahas ataupun mengupas tentang zuhud menurut Imam Al-Ghazali, alangkah baiknnya kita mengenal terlebih dahulu makna zuhud seperti apa jika ditinjau dari segi bahasa maupun terminologinya.

Secara Bahasa zuhud diambil dari kata zahida fiihi wa’anhu, zuhdan wawa zahaadatan yang artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkannya karena kehinaannya atau rasa penyesalan atas membunuh seseorang. Ada kata lainnya yaitu zahida fi dunya yang artinya meninggalkan sesuatu hal yang halal di dunia karena takut akan hisab-Nya, dan meninggalkan yang haram karena takut akan siksaan-Nya (Imam Ahmad Ibn Hambal, 2000:1).

Sedangkan menurut terminologi, zuhud ialah meninggalkan segala sesuatu yang berupa urusan duniawi untuk menuju alam akhirat. Biasanya para sufi melakukan zuhud bukan tanpa adanya alasan yang tidak jelas, melainkan meninggalkan segala sesuatu yang berurusan dengan dunia yang bertujuan agar tidak terlena akan kehidupan dunia ini. Dunia yang sementara dan meninggalkan akhirat begitu saja, tetapi lebih pada lebih fokus pada akhirat yang akan dituju nantinya.

Menurut Imam Al-Ghazali, orang zuhud adalah mereka yang di hatinya tak terlintas keindahan dan kenikmatan harta dunia (‘alaiq al-dunya). Untuk mengontrol diri agar tidak mencintai kenikmatan dunia, Imam al-Ghazali pun memilih hidup miskin. Adapun pendapatnya Imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa, orang kaya ialah orang yang memiliki sedikit angan-angan dan menerima semua pemberian. Gemerlap kenikmatan dunia bisa menipu banyak orang. Kekayaan dunia, menurutnya berpotensi menghambat perjumpaan seseorang dengan Tuhannya.

Bagi Imam al-Ghazali, taubat adalah hal pertama yang harus dilalui oleh seorang salih. Dengan kata lain, tak ada salih yang tak melalui maqam taubat ini. Inilah yang disebut sebagai fase takhalli, yaitu mengosongkan diri dari dosa-dosa, baik kepada Allah maupun kepada sesama yang sangat mungkin dapat mengotori hati seorang salih.

Di sini, salih harus menjalani maqam-maqam berikutnya seperti maqam zuhud, sabar, syukur, tawakkal, dan ridha untuk sampai pada fase tajalli.

Dalam fase tajalli, ada maqam zuhud. Imam al-Ghazali berkata bahwa zuhud adalah meninggalkan perkara-perkara mubah yang dikehendaki hawa nafsu (tarku al-mubahat allati hiya hadd al-nafs). Bagi Imam al- Ghazali, orang yang hanya mencukupkan diri dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan tak disebut sebagai orang zuhud (zaahid). Orang zuhud adalah mereka yang di hatinya tak terlintas keindahan dan kenikmatan harta dunia (‘alaiq al-dunya).

Mengutip pendapat Ibrahim ibn Adham, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa hati manusia tertutup karena tiga hal, yaitu bahagia terhadap apa yang dimiliki (al-farah bi al-maujudi), menderita terhadap apa yang hilang darinya (al-huzn bi al-mafqud), dan senang terhadap pujian orang lain (al-suruur bi al-maadi).

Adapun syarat menjadi zuhud ialah tidak kembali pada sesuatu yang dibencinya, karena sesuatu yang dibenci memiliki nilai tersendiri. Karena itulah, melepaskan materi atas dunia ini sepenuhnya dapat menjaga hati dan semua anggota tubuh dari segala sesuatu yang bertentangan pada kezuhudannya (Ahmad Faridh, 2000: 86).

Hakikat zuhud menurut pendapat Imam Al-Ghazali adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya karena menginginkan sesuatu di alam akhirat (Tamami, 2011: 175).

Peran Zuhud di Zaman Modern

Adapun beberapa peran penting zuhud di zaman modern ini adalah meninggalkan segala sesuatu yang bersifat boros (buang-buang harta secara sia-sia), tidak mendekati yang namanya zina, selalu bersedekah di jalan Allah, selalu mengingat Allah di kala susah maupun senang

Terkadang, di zaman ini sangat sulit mengendalikan hawa nafsu untuk mendekat diri kepada Allah karena godaan duniawi ini. Ada cara untuk tidak tergoda atas dunia ini, yaitu dengan melakukan zuhud (tidak tertarik ataupun tergoda dengan dunia).

Oleh: Ridwan Ardiansyah Wijaya Putra, Mahasiswi Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang