Al-Kindi: Menyelaraskan Agama dan Filsafat

 
Al-Kindi: Menyelaraskan Agama dan Filsafat
Sumber Gambar: Ilustrasi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Al-Kindi memadukan filsafat dengan agama karena kedua ilmu tersebut tidak bertentangan, karena masing-masing dari ilmu tersebut mempelajari kebenaran. Al-Kindi berpendapat bahwa di antara agama dan juga filsafat tidak ada pandangan yang esensial, karena di antara keduanya itu megarah kepada tujuan yang sama.

Pemikiran al-Kindi tentang filsafat ketuhanan tidaklah sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Aristoteles. Al-kindi merupakan orang arab yang pertama kali memperkenalkan filsafat kedalam pemikiran Arab, sehingga ia diberi gelar “filosof bangsa Arab”. Di mana ia hidup pada masa filsafat yang belum dikenal dengan baik oleh tradisi pemikiran islam.

Al-Kindi (Al-Kindus) mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq Ibn Sabbah Ibn Imran Ibn Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais Al-Kindi. Beliau lahir di Kufah pada tahun 801 M, pada masa khalifah Harun Al-Rasyid dari dinasti bani Abbas. Ketika sudah dewasa al-Kindi mempelajari bidang ilmu filsafat, seni musik, kedokteran, optik dll.

Kendala-kendala yang dialami oleh al-Kindi dalam kondisi tersebut di bagi menjadi dua yaitu kesulitan ketika akan menyampaikan gagasan filosofis ke dalam bahasa arab yang mana pada saat itu ia kekurangan istilah teknis dalam hal menyampaikan ide-ide abstrak. Kendala lain yaitu terdapat serangan ataupun tantangan yang dilakukan oleh kalangan tertentu terhadap filsafat, yang mana pada saat itu filsafat dan juga filosof dianggap sebagai bid’ah dan juga kekufuran.

Al-kindi melakukan beberapa hal dalam menghadapi kesulitan yang pertama, yang mana ia melakukan beberapa hal tersebut dengan menerjemahkan secara langsung istilah-istilah dari Yunani kedalam bahasa Arab, mengambil alih istilah-istilah yunani dan kemudian menjelaskannya dengan menggunakan kata-kata bahasa Arab, serta dengan menciptakan istilah atau kata-kata baru dengan cara mengambiil kata ganti.

Sedangkan dalam menghadapi tantangan yang ke dua, al-Kindi menyelesaikannya dengan cara menyelaraskan antara agama dan juga filsafat. Dan upaya tersebut dilakukan oleh al-Kindi dalam beberapa tahapan; Pertama, dengan cara membuat kisah-kisah yang menunjukkan bahwa antara bangsa arab dan juga bangsa yunani itu bersaudara dan tidak patut untuk saling bermusuhan.

Kedua, menyatakan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang bisa datang di mana saja dan umat Islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya. Seperti halnya yang terdapat dalam al-Falsafah al-Ula ia mengungkapkan bahwa, bagi para pencari kebenaran tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Kebenaran bisa datang dari mana saja dan umat islam tidak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya karena, mengambil kebenaran dari orang lain tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, akan tetapi justru akan menjadikannya terhormat dan mulia.

Ketiga, menyatakan bahwa filsafat merupakan suatu kebutuhan, yang mana digunakan sebagai saran dan proses berfikir. Bukan suatu yang aneh dan juga kemewahan. Bahkan al-Kindi juga menekankan kepada orang yang fanatik agama dan juga menentang kegiatan filosofis. Dengan metode dialektika, al-Kindi mengajukan pertanyaan kepada mereka, filsafat itu perlu atau tidak? Jika perlu mereka harus memberikan alasan dan juga argumen untuk membuktikannya, begitu juga jika menyatakan tidak perlu, maka mereka harus memberikan argumen ataupun pendapat mereke dan juga menjelaskan secara rasional.

Menurut Atiyeh, dengan pembelaan cara ketiga tersebut, al-Kindi ingin menunjukkan bahwa para filsuf dan juga filsafat sesungguhnya tidak bermaksud untuk mendorong wahyu dan agama, justru sebaliknya, memberi suatu dukungan pada agama dengan argumen-argumen rasional dan kokoh.

Keempat, menyatakan bahwa meski metode agama dan juga filsafat itu berbeda akan tetapi tujuan yang akan dicapainya itu sama, Baik itu dalam tujuan praktis maupun dalam tujuan teoritisnya. Tujuan praktis dari agama dan filsafat adalah mendorong manuia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Sedangkan dalam tujuan teoritisnya adalah agar mengenal dan mencapai kebenaran yang tertinggi. Oleh sebab itu al-Kindi berpendapat bahwa diantara agama dan juga filsafat tidak ada pandangan yang esensial, karena diantara keduanya itu megarah kepada tujuan yang sama.

Kelima, memfilsafatkan ajaran dan juga pemahama agama agar selaras dengan pemikiran filosofis, yaitu dengan cara memberikan makna takwil terhadap teks-teks atau nash yang secara tekstual dinilai tidak selaras dengan pemikiran rasional dari filosofis. Al-Kindi berpendapat bahwa apapun yang disampaikan oleh Rasul dari Tuhan adalah benar adanya dan dapat diterima dengan baik oleh nalar, sehingga tidak akan ada pertentangan diantara keduanya.

Di mana pertentangan yang muncul antara kata-kata Al-Qur’an dan pemahaman filosofis itu adalah akibat dari adanya kesalahpahaman kita sendiri dalam memahami makna Al-Qur’an tersebut. Yang mana tafsir takwil al-Kindi tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip linguistik dan tata Bahasa, sehingga model penafsiran al-Kindi berbeda dengan kaum stoik sebelumnya. Dan model tafsir yang digunakan oleh al-Kindi tersebut lebih dekat dengan retorika teologi dari kaum Mu’tazilah daripada dengan filsafat.

Oleh: Maqhfirotus Sholikhah, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang