Kiai Abdul Wahab Ahmad: Benar Berdasarkan Hadis atau Hanya Asumsi Belaka?

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Benar Berdasarkan Hadis atau Hanya Asumsi Belaka?
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Aturan pertama dalam ilmu fikih adalah semua putusan harus bersumber pada al-Qur'an dan hadis. Namun dalam praktiknya tidak mudah menerapkan aturan ini meski hadisnya sudah ada di depan mata dan merasa mengamalkan hadis tersebut. Bisa jadi yang dikira berdasarkan hadis ternyata berdasarkan asumsi terhadap hadis. Ini beda jauh konsekuensinya.

Saya beri contoh sederhana dalam kasus batal tidaknya wudhu seorang suami yang menyentuh kulit istrinya. Dalam mazhab Syafi'i, sudah maklum bahwa seorang suami dianggap batal wudhunya apabila menyentuh kulit istrinya, baik syahwat atau pun tidak. Keterangan ini ada dalam semua kitab Syafi'iyah, dasarnya adalah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)

Namun kalangan lain berbeda pendapat. Menurut mereka, wudhu suami istri itu tidak batal sebab sudah ada hadis-hadisnya. Di antaranya adalah hadis yang berbunyi:

عن حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ

"Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat dan tidak berwudhu lagi."

Sepintas hadis tersebut jelas mengindikasikan bahwa wudhu suami tidak batal, sebab Nabi Muhammad SAW setelah mencium istrinya tidak mengulang wudhunya lagi tetapi langsung shalat. Akhirnya disimpulkan bahwa fikih syafi'iyah tidak tepat sebab bertentangan dengan hadis tersebut. Beberapa orang yang tak bisa mengukur kadar dirinya sendiri lantas berkata, "Mau ikut sunnah atau ikut ulama mazhab?" Seolah-olah ulama mazhab tidak pernah melihat hadis itu saja.

Ketika hadis tersebut dibaca dengan seksama, bagian manakah darinya yang mengatakan bahwa kulit Nabi Muhammad menyentuh kulit istrinya? Tidak ada. Yang ada di sana hanyalah kata "mencium" dan nama mencium ini tidak harus kulit bertemu kulit. Mencium kepala yang terbungkus kain juga tetap disebut mencium, mencium pipi yang tertutupi cadar juga tetap disebut mencium.

Jadi, kesimpulan bahwa kulit Nabi Muhammad menyentuh kulit istrinya lalu shalat tanpa berwudhu kembali adalah kesimpulan yang berdasarkan asumsi, bukan berdasarkan hadis. Hadisnya sendiri tidak menyatakan demikian, hanya asumsi pembacalah yang ke arah sana. Karena hanya berdasarkan asumsi dalam membaca hadis dan bukannya berdasarkan hadis itu sendiri, maka hal semacam ini tidak kuat dijadikan dasar. Sehingga dalam fikih Syafi'i tetap saja dipakai aturan umum bahwa persentuhan kulit lelaki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu, tak terkecuali seorang suami pada istrinya.

Selain itu, hadis di atas dinyatakan lemah oleh para pakar hadis seperti Imam Ahmad, Sufyan Ats-Tsauri, Yahya bin Said, Abu Dawud, dan banyak lainnya. Al-Baihaqi bahkan mengatakan bahwa Habib, perawi hadis tersebut, salah menempatkan hadis tentang tidak batalnya puasa karena mencium istri di tempat, bukan batalnya wudhu suami ketika mencium istri (an-Nawawi, al-Majmu'). Namun para ulama Kufah bersikukuh bahwa hadis ini sahih (Ibnu Abdil Barr, al-Istidzkar) dan ini wajar sebab masalah sahih tidaknya suatu hadis adalah persoalan ijtihadiyah.

Namun terlepas dari sahih atau tidak, terjadinya sentuhan kulit antara Nabi dan istrinya tetaplah asumsi, dan asumsi bukanlah hadis. Ini hanya contoh kasus saja. Dalam banyak kasus lain, keterlibatan asumsi ini juga banyak terjadi sehingga butuh kejelian dalam membahas fikih, tidak cukup hanya dibaca sekilas lalu disimpulkan.

Semoga bermanfaat

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang