Kiai Abdul Wahab Ahmad: Beda Memperbolehkan dan Melakukan

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Beda Memperbolehkan dan Melakukan
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Kadang saya malu, kalau ingat masa lalu waktu masih muda, saat masih labil kalau membahas fikih. Membahas fikih menggunakan pendekatan baper tapi merasa benar. (Hahaha)

Contohnya begini, ketika membahas kawin mut'ah yang dihalalkan oleh Syiah, saya biasa komen begini ke pengusung ajaran yang bagi saya sangat salah itu, "Memangnya kamu mau anak gadismu dimut'ah?" Karena malas panjang lebar, maka sisi psikologis yang dibahas, padahal tidak nyambung sama sekali dan memalukan diucapkan.

Menganggap sesuatu adalah halal bukan berarti boleh dipaksa melakukannya atau dikesankan salah apabila tidak melakukannya sebagai pembuktian. Ketika misalnya kita ditanya apakah bertamu ke rumah kita halal? Maka akan kita jawab, “Tentu saja halal.” Tapi bukan berarti orang berhak berkata, "Jadi kalau saya suruh banyak orang datang ke rumahmu dari pagi hingga malam maka harus kamu terima ya?"

Menghalalkan bertamu bukan berarti harus menerima semua tamu. Demikian pula dengan menghalalkan praktek mut'ah bukan berarti orangnya wajib melakukan atau menyetui praktek mut'ah pada orang tertentu. Ini dua hal yang berbeda.

Begitu juga dengan beberapa orang yang mengkritik nikah misyar yang biasa dipraktikkan sebagian wahabi. Tidak tepat jika dikomentari, "Memangnya kamu mau putrimu dinikahi secara misyar?"

Karena itu saya senyum-senyum ketika saya share fatwa tokoh yang mengatakan, jabat tangan antara lelaki dan perempuan boleh asalkan tidak syahwat, lantas beberapa ada yang komen, "Memangnya anda mau istri anda disalami banyak lelaki dengan alasan tidak syahwat." (Hahaha) Ini mah level saya dua puluhan tahun lalu waktu masih malu-maluin. Menganggap halal bukan berarti harus setuju dipaksa melakukan itu atau dianggap salah kalau tidak melakukannya.

Sama lah dengan Kiai mana pun kalau ditanya, apakah boleh lelaki memakai celana pendek selutut? Pasti dijawab boleh, tapi jangan paksa Kiai tersebut memakai celana selutut untuk shalat berjamaah. Sama juga dengan muslimah yang paham fikih kalau ditanya hukum poligami, tentu menjawab boleh, tapi jangan salahkan dia ketika tidak setuju suaminya menikah lagi. Sekali lagi, beda antara menganggap boleh dengan menyetujui melakukan kebolehan tersebut.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah pernah terlihat jijik untuk memakan kadal gurun. Lalu beliau ditanya apakah artinya beliau mengharamkannya? Beliau menjawab bahwa itu halal hanya beliau tidak terbiasa. Kalau para sahabat memakai nalar konyol di atas, maka bisa-bisa ada yang komen, "Kalau memang halal kenapa anda tidak memakannya juga wahai Rasulullah?" Tentu saja tidak ada sahabat yang nalarnya begitu.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang