INFAK / SEDEKAH/ DONASI/ SUMBANGAN untuk LADUNI.ID
Seluruh dana yang terkumpul untuk operasional dan pengembangan portal dakwah Islam ini
Islam sangat menganjurkan agar memperhatikan anak yatim dan orang yang lemah atau kaum dhu'afa. Banyak sekali Ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang menerangkan tentang anak yatim.
Sudah sepantasnya kita menghormati anak yatim, sebab Baginda Nabi SAW juga merupakan seorang yatim. Kata yatim sendiri disebutkan sebanyak 23 kali dalam Al-Quran, yaitu delapan dalam bentuk tunggal, 14 dalam bentuk jamak, dan 1 dalam bentuk dua (mutsanna).
"Barang siapa berpuasa para hari 'Asyura, tanggal 10 Muharram, niscaya Allah akan memberikan seribu pahala Malaikat dan10.000 pahala Syuhada. Dan barang siapa mengusap kepala anak yatim pada hari 'Asyura, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya."
Istilah yatim bukanlah kata yang asing di telinga kita. Ketika mendengar kata ini, terlintas dalam benak kita tentang seorang anak yang ditinggal orang tercinta dan paling berharga dalam hidupnya, entah itu ayah ataupun ibu.
Pengertian yatim dalam syariah tak jauh beda dengan makna secara bahasa, yaitu seseorang yang ditinggal wafat bapaknya dan belum baligh.
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim di surga seperti dua (jari) ini, (beliau menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah).” (HR. At-Tirmidzi)
“Imam Mujahid berkata, orang yang malu tidak akan (bisa) mendapatkan ilmu, demikian juga orang sombong.” (HR. Imam Bukhari, disebutkan secara mu’allaq dalam Bab Al-Haya’ fil 'Ilmi)
Kesombongan, selain dihinakan Tuhan, juga dapat menyebabkan kesengsaraan di Akhirat. Orang yang sombong akan selalu membesarkan sesuatu yang tidak ada pada dirinya dan merasa dirinyalah yang memiliki.
Sebagai makhluk sosial, setiap orang harus menjaga hubungan harmonis di antara sesama. Hubungan harmonis itu bisa terjaga apabila setiap individu mempunyai akhlak yang baik dan menghindari sifat sombong.
Perbedaan dalam masalah fiqih adalah sesuatu yang ada dan bukan diada-adakan. Jadi, sebelum lebih jauh mendalami fiqih, seorang harus siap menghadapi perbedaan itu sendiri dan bersikap bijak dalam perbedaan tersebut.