Menguak Esensi Shalawat

 
Menguak Esensi Shalawat

 

LADUNI.ID, AGAMA- Salah satu ayat yang menjelaskan tentang anjuran bersalawat tersebut dalam surat Al-Ahzab di atas yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al Ahzab:56)

Dalam ayat itu Allah memerintahkan seluruh kaum beriman setelah memanggil mereka dengan sebelumnya menyebutkan bahwa Allah dan malaikat-Nya melakukan hal tersebut.

Maksudnya Dia memerintahkan hal tersebut – bukan karena Nabi shallallahu alaihi wasallam butuh pada hal itu, tetapi karena tujuan memuliakan kalian sebab keimanan kalian kepada-Nya – dengan perintah yang menjadikan kalian mencocoki dan sejalan dengan Raja Diraja Maha Mulia ta’alaa, para orang teristimewa dari para hamba-Nya yang saleh yang dimuliakan bersama Nabishallallahu alaihi wasallam yang menjadi jalan bagi kalian memperoleh petunjuk-Nya yang dengan lisannya, Sang Nabi juga memberikan petunjuk segala hal yang bisa mendekatkan kalian di sisi-Nya.

Dalam pandangan Syekh Izzuddin bin Abdussalam rahimahullah berkata:
Shalawat atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukanlah syafa’at kita untuk Beliau karena orang seperti kita tidaklah bisa memberi syafaat kepada orang seperti Beliau. Kendati begitu Allah ta’alaa memerintahkan agar membalas jasa orang yang telah memberikan kebaikan kepada kita. Jika tidak bisa membalas jasanya maka kita berdo’a untuknya agar Allah menggantikan kita dalam memberikan balas jasa. 

Ketika kita tidak mampu membalas jasa penghulu manusia terdahulu dan yang kemudian maka Tuhan semesta alam memerintahkan agar kita bershalawat atasnya. Supaya shalawat itu sebagai balas jasa atas kebaikan dan anugerahnya kepada kita dan tentu saja tak ada kebaikan lebih utama daripada kebaikan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kita.

Beliau bersabda: “Barang siapa bershalawat sekali atasku maka sebab itu Allah bershalawat sepuluh kali atasnya” (HR Muslim). Sementara itu Qadhi Iyadh berkata: Maksudnya Allah merahmatinya dan menggandakan pahalanya sebagaimana firmanNya, “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya “ (QS al An’aam:160.)

Imam Qadhi 'Iyadh melanjutkan: (Atau bisa jadi shalawat Allah ini sesuai dengan zhahirnya sebagai bentuk memuliakan (orang yang membaca shalawat) di kalangan para malaikat seperti dalam hadits, “Jika ia menyebut-Ku dalam suatu perkumpulan maka Aku menyebutnya di perkumpulan (lain) yang lebih mulia darinya”. Hanya Allah yang lebih Mengetahui.

Shalawat itu memang salah satu fungsinya untuk dilantunkan. Sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku, maka aku akan memberinya syafaat pada hari kiamat. (Hadits riwayat Ibnu Syahiin dalam at-Targhib dan Ibnu Basykawal)” Jadi shalawat itu perlu didendangkan.

Diantara visi dan misi shalawat itu adalah syi’ar. Dimana-mana orang bershlawat, membuat barzanji, dan sebagainya. Hal demikian dilakukan demi pencerahan buat umat manusia seluruhnya. Lebih baik shalawat daripada dibid’ahkan.

Maulid Nabi, salah satu intinya adalah membuat suasana batin bergetar, seperti halnya membaca al-Qur’an, sekalipun kita membacanya tanpa pengamalan, namun membacanya tetap istimewa, daripada tidak membacanya. Jadi, hemat saya, membaca shalawat Nabi itu jangan dilarang. Bershalawat salah satu tujuannya adalah supaya kita lebih mencintai Nabi.

Secara emosional kita mencintai Nabi. Merindukan Nabi dengan dengan cara mendendangkannya jangan dianggap tidak ada manfaatnya. Justru orang mencintai Nabi itu dibuktikan dengan cara shalawat, mau cari apalagi setelah itu?

 Mencintai Nabi itu puncak dari sebuah prestasi. Jadi, seolah-olah kita ingin merasionalisasikan shalawat, sudahlah tidak perlu, yang penting itu karya nyatanya apa, karya nyatanya itu adalah terciptanya rasa cinta kita yang sangat dalam kepanda Baginda Nabi Saw dan menegakkan perintah Allah SWT. Yuk kita menshalawatkan diri dalam setiap kesempatan dan waktu di berbgai level kehidupan meraih ridha-Nya.

*Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Samalanga, dikutip dari berbagai sumber