Antara Takdir dan Kebebasan

 
Antara Takdir dan Kebebasan

عَنْ طَاوُسٍ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: احْتَجَّ آدَمُ وَمُوسَى فَقَالَ لَهُ مُوسَى يَا آدَمُ أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ لَهُ آدَمُ يَا مُوسَى اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ بِيَدِهِ أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى ثَلَاثًا (رواه البخاري ومسلم )

Artinya: Diriwayatkan dari Thawus, aku mendengar Abu Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda, “Adam dan Musa berdebat. Berkatalah Musa kepadanya, “Wahai Adam, engkau adalah bapak kami. Engkau telah menjadikan kami merugi dan keluar dari surga.” Adam menjawab, “Wahai Musa, Allah telah memilih engkau (untuk berdialog langsung) dengan Kalam-Nya. Dia telah menuliskan (Taurat) untukmu dengan tangan-Nya. Apakah engkau mencaci maki aku atas perkara yang sudah Allah tentukan kepadaku sebelum Dia menciptakanku empat puluh tahun? (Jawaban) Adam membuat Musa kalah berdebat, (jawaban) Adam membuat Musa kalah berdebat, dan (Jawaban) Adam membuat Musa kalah berdebat (sebanyak tiga kali).” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 6124, dan Muslim: 4793)

Dialog antara Nabi Adam a.s. dan Nabi Musa a.s. dalam hadis di atas menunjukkan dengan jelas bahwa diturunkan atau dipindahkannya Nabi Adam a.s. dan isterinya Hawa dari surga ke dunia tidaklah semata-mata disebabkan oleh kesalahan pribadi Nabi Adam a.s., tetapi juga telah ditentukan oleh takdir Allah s.w.t. jauh sebelum penciptaan Nabi Adam a.s. Semua kejadian dalam kehidupan alam semesta, termasuk kejadian yang dialami oleh manusia pada hakekatnya berjalan menurut ketetapan takdir Allah s.w.t. Manusia ditugaskan untuk berusaha semaksimal mungkin demi meraih kesuksesan di dunia dan akhirat. Sedangkan ketetapannya berada pada takdir Allah s.w.t. yang pasti dan tidak ada yang dapat menolaknya. Kebebasan yang dimiliki manusia hakekatnya adalah merupakan pemberian dari Allah s.w.t.          

Dalam hadis lainnya disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ (رواه مسلم ابن ماجه وأحمد)

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah. Masing-masing (baik kuat maupun lemah) terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah mengerjakan apa yang bermanfaat bagimu (taat), mintalah pertolongan kepada Allah (agar kuat melakukannya), dan janganlah kamu lemah (malas)! Jika ada sesuatu yang (tidak diinginkan) terjadi padamu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya aku melakukan ini dan itu (tentu tidak begini dan begitu), tetapi katakanlah “Ketentuan Allah-lah yang menghendaki itu semua”, karena sesungguhnya perkataan “seandainya” dapat membuka peluang bagi setan untuk menggoda.” (Hadis Shahih, Riwayat Muslim: 4816, Ibnu Majah: 76, dan Ahmad: 8436. teks hadis di atas riwayat Muslim).

Istilah “kuat” dalam hadis di atas, adalah jiwa yang kuat dan konsisten dalam menapaki hidupnya demi akhirat. Orang yang memiliki sifat ini tidak memiliki rasa takut dan gentar sedikit pun dalam berjihad. Ia pun bertekad kuat untuk ber-amar makruf dan nahi mungkar. Dalam menghadapi kegetiran, ia senantiasa bersabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah. Ia juga rajin mengerjakan shalat, puasa, berdzikir, dan ibadah-ibadah lainnya.

Sedangkan istilah “lemah” adalah mengacu kepada orang mukmin yang frekuensi ibadahnya lemah. Kendati demikian, Nabi s.a.w. menegaskan bahwa antara “mukmin yang kuat” dan “mukmin yang lemah” keduanya bagus, sebab masing-masing memiliki keimanan.

            Adapun kata “Lau” (seandainya), sebagaimana Nabi s.a.w. melarang untuk menggunakannya, menurut Al-Qadhi Iyadh adalah berkenaan orang yang meyakininya secara pasti. Artinya, seandainya ia melakukan hal itu, pasti hal yang tidak diinginkannya itu tidak akan terjadi. Sedangkan orang yang mengembalikan itu semua kepada kehendak Allah, meskipun menggunakan redaksi “Lau”, maka itu tidak termasuk dalam pembahasan ini.

Al-Qadhi Iyadh mengcounter pendapat sebagian ulama yang membolehkan memakai istilah "Lau"  (seandainya), dengan menyandarkan pada perkataan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika berada di dalam gua, “Seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah telapak kakinya, niscaya ia akan melihat kami.”  Begitu pula sabda Nabi s.a.w. tentang bersiwak, “Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak.”  Menurut Al-Qadhi, argumentasi tersebut tidak bisa dijadikan sebagai pembenar penggunaan kata “Lau”. Sebab semuanya mengacu pada masa yang akan datang dan sama sekali tidak berkaitan dengan takdir. menurutnya, kata "Lau" yang dilarang oleh Nabi s.a.w. adalah berkaitan dengan masa yang telah terjadi dan sudah menjadi ketentuan Allah (takdir). Oleh karena itu, kata “seandainya”  berarti tidak menerimanya seorang makhluk atas ketentuan yang sudah digariskan oleh Tuhannya. Dan itu menjadi sasaran setan untuk menggoda keimanannya.

            Selanjutnya, Al-Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa hadis di atas dipahami secara zhahir dan berlaku umum. Karenanya, maksud larangan “lau” ini adalah berkenaan dengan keyakinan yang mengesampingkan campur tangan Tuhan. Seorang yang berkata “lau” biasanya meyakini bahwa seandainya dia tidak begitu, tentu kejadiannya tidak begitu. Hal ini seolah-olah, dialah yang berkuasa penuh untuk menentukan nasibnya. Kendati demikian, larangan ini bukan berarti tahrim, melainkan makruh tanzih. (al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim).

Qadha dan Qadar adalah ketentuan Allah s.w.t. yang bersifat azali. Ketentuan itu merupakan hak Prerogatif Allah sebagai Dzat Pencipta. Dia menentukan ketentuan yang baik atau yang buruk untuk setiap makhluk yang diciptakan-Nya jauh sebelum mereka diciptakan. Islam memasukkan sikap percaya kepada ketentuan Allah ini sebagai rukun iman yang harus dipercayai oleh setiap umatnya. 

Para ulama salaf shalih yang tergolong pada generasi awal, berdasarkan keyakinan dan pengetahuannya yang mendalam telah menyatakan, bahwa iman kepada Qadha dan Qadar, sama sekali tidak menghambat pekerjaan dan usaha manusia, juga tidak menghalangi kemajuan-kemajuan. Kepercayaan kepada Qadha dan Qadar tidak berarti bersikap fatalisme, rela menerima kehidupan yang rendah dan hina, enggan berusaha, tetapi kepercayaan itu justru harus menggerakkan manusia muslim agar bekerja bersungguh-sungguh, kreatif dan ikhlas, tanpa pamrih, tanpa harus memaki zaman, membenci kehidupan atau berputus asa.

Keyakinan kepada Qadha dan Qadar, apabila pemahamannya lurus dan benar, sesuai dengan yang dipahami ulama salaf dan mengacu pada pemahaman Jamaluddin al Afghani, bahwa Sunnatullah (hukum alam) tidak akan menghambat kemajuan, merintangi kebebasan atau menimbulkan kelesuan dalam menjangkau cita-cita yang luhur.

Dikisahkan dari sahabat Abdullah bin Abbas r.a., sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, bahwa Umar bin al-Khattab r.a. dan rombongannya, suatu saat berangkat ke negeri Syam (daerah Syiria sekarang). Saat akan memasuki wilayah itu, para pembesar negeri Syam melaporkan kepada Umar r.a, bahwa daerah itu sedang berjangkit wabah penyakit menular. Umar bin al-Khattab r.a. kemudian bermusyawarah dengan para sahabat Muhajirin dan Anshar untuk mencari jalan keluar (way out) yang baik dari masalah tersebut. Umar dan rombongan sepakat untuk kembali ke Madinah, tidak memasuki daerah yang berbahaya itu. Tiba-tiba Abu Ubaidah bin Jarrah, salah seorang anggota rombongan, tampil dan melontarkan satu pertanyaan kepada Umar:

أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ ؟

Artinya: “Apakah kita hendak lari menghindari takdir Allah?”
Umar R.A Menjawab:

نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ

Artinya: “Benar, kita menghindari suatu takdir Allah dan menuju takdir Allah yang lain”.

Untuk meyakinkan sahabatnya, Umar r.a. memberikan contoh yang sangat tepat. Kata Umar R.A.:

أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصِبَةٌ وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصِبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ

Artinya: “Sekiranya engkau sedang menggembalakan untamu, kamu dapati ada dua lembah, yang keduanya merupakan takdir Allah. Lembah pertama merupakan padang rumput yang hijau dan subur, sedang lembah kedua merupakan bukit-bukit berbatu yang gersang, tidak ada rumput atau tumbuhan lain. (Apakah kamu akan membawa ternakmu ke lembah yang gersang itu? Tentu tidak, tetapi akan membawanya ke lembah yang pertama yang subur itu). Bila anda pergi ke lembah yang subur itu berarti anda mengikuti takdir Allah, demikian pula bila anda menuju lembah yang gersang itu”.

Kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf r.a., seraya berkata: “Dalam masalah ini, aku mendapat sebuah pengetahuan, suatu ketika aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Artinya: “Apabila kamu mendengar di daerah ada wabah, maka janganlah mendekatinya. Dan jika ada wabah sedangkan kamu berada di daerah itu, maka janganlah kalian keluar dari daerah itu untuk menghindarinya.”

Mendengar penuturan Abdurrahman bin Auf, r.a. tersebut, Umar r.a. memuji syukur kepada Allah s.w.t., kemudian pergi. (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 5288 dan Muslim: 4114. teks hadis riwayat al-Bukahri) 

Berdasarkan riwayat di atas, dengan mudah dapat difahami bahwa kepercayaan pada takdir Allah, tidak berarti menafikan kebebasan manusia, juga tidak merupakan paksaan atau tekanan. Karena Qadha dan Qadar itu ada dalam ilmu Allah s.w.t. yang Qadim dan Azali. Setiap diri manusia tidak ada yang mengetahui, apa yang akan dikerjakannya atau yang akan  ditinggalkannya pada masa yang akan datang secara hakiki.

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA